Rama Wijaya 3
Sambil menyandang busur dan anak panah Rama pergi ke dalam hutan untuk menangkap sang kijang kencana. Diburunya kijang itu, dan akhirnya dipanahlah agar tak dapat berlari lagi. Marica terkena panah lalu ia menjerit. Suaranya meniru suara Rama yang menjerit minta pertolongan.Mendengar jerit Rama Sita segera menyuruh Laksamana agar pergi memberi pertolongan kepada Rama. Mula-mula Laksamana tak percaya bahwa Rama berada dalam keadaan bahaya karena Rama adalah seorang satria yang pandai berburu dan berperang. Lagipula Laksamana tak mau meninggalkan Sita karena ia telah dipesan agar selalu menjaga Sita. Sita menjadi marah dan menuduh Laksamana menghendaki dirinya. Dengan berat hati Laksamana terpaksa meninggalkan Sita. Ia berpesan agar Sita dapat menjaga dirinya. Tak lama kemudian muncullah seorang pertapa tua yang berjalan terhuyung-huyung karena kehausan. Ia meminta air minum pada Sita. Sita pun segera memberinya.
Tapi pertapa tua itu segera menjelma sebagai Rahwana, raja raksasa yang mengerikan wajahnya. Rahwana menyatakan kehendaknya memperisteri Sita. Tapi Sita menolaknya. Rahwana menjadi tidak sabar. Diringkusnya Sita, lalu dibawanya terbang. Sita menjerit-jerit dan meronta-ronta, tapi Rahwana amat kuat tangannya sehingga Sita tak berdaya. Sambil meringkus Sita, Rahwana terbang kembali ke Langkapura.
Sita meronta-ronta dan menjerit-jerit, tapi sia-sia. Tangan Rahwana menjadi
sepuluh pasang, begitu pula mukanya menjadi sepuluh. Itulah sebabnya ia
dijuluki Dasamuka. Sita terus berteriak-teriak menyebut nama Rama. Sita kini
sadar akan kesalahannya. Ia tak mengikuti nasehat Laksamana, bahkan berprasangka
buruk terhadap iparnya itu. Konon, adalah seekor burung garuda, Jatayu namanya.
Ia sahabat Rama. Demi mendengar nama Rama yang dijeritkan Sita, terbanglah ia
hendak memberi pertolongan. Rahwana disambarnya berkali-kali, dipatuknya dan
dicakarnya. Sita hendak direbutnya. Rahwana marah karenanya, lalu ia menghunus
senjata. Terjadilah pertarungan di angkasa. Garuda Jatayu terluka parah
sehingga tak dapat terbang lagi. Sita yang mengetahui bahwa garuda itu
membelanya segera melepaskan cincinnya. Cincin itu lalu dilemparkannya kepada
Jatayu agar diberikan kepada Rama. Jatayu terkulai jatuh ke bumi, tubuhnya
mandi darah.
Rama dan Laksamana kembali ke pondoknya. Tapi betapa kagetnya mereka karena Sita tidak berada di sana. Menitiklah air mata Rama karena sedihnya. Keluhnya terbawa angin menerobos hutan dan terbawa debur gelombang lautan. Laksamana pun tak henti-hentinya menyesali dirinya karena pergi meninggalkan Sita.
Rama dan Laksamana kembali ke pondoknya. Tapi betapa kagetnya mereka karena Sita tidak berada di sana. Menitiklah air mata Rama karena sedihnya. Keluhnya terbawa angin menerobos hutan dan terbawa debur gelombang lautan. Laksamana pun tak henti-hentinya menyesali dirinya karena pergi meninggalkan Sita.
Kedua satria itupun pergilah mencari Sita. Dijelajahinya rimba belantara,
didakinya bukit, dan dituruninya lembah. Namun tiada jejak sedikitpun yang
ditemukannya. Akhirnya Rama melihat seekor burung garuda yang terkapar di tanah
tanpa daya. Hanya pada paruhnya terdapat sebentuk cincin. Rama mengamati cincin
itu dan seketika itu juga dikenalinya sebagai cincin Sita. Jatayu dengan
tersendat-sendat berkata bahwa Sita dilarikan oleh raja raksasa Rahwana. Jatayu
tak dapat berkata lebih banyak karena tubuhnya telah lemah lunglai dan
kehabisan tenaga. Sesaat kemudian Jatayu pun menghembuskan nafas penghabisan.
Rama menyadari bahwa garuda yang telah tiada itu adalah sahabatnya. Sebagai
penghormatan terakhir, burung garuda itu pun dibakarnya dengan disertai upacara
yang khidmat. Walaupun Rama dan Laksamana telah mengetahui siapa yang melarikan
Sita, tetapi mereka belum mengetahui nama dan letak negara raja raksasa itu.
Maka mengembaralah kedua satria itu mendaki gunung-gunung yang tinggi,
menyusuri tebing-tebing yang curam, dan menuruni lereng-lereng yang terjal. Tiba-tiba
dari balik semak belukar muncullah makhluk yang aneh wujudnya. Tubuhnya seperti
raksasa tetapi berkepala dua. Salah sebuah kepalanya terletak pada bagian
perut.
Dengan suara mendesis-desis, raksasa itu segera menyerang Rama dan Laksamana.
Sangatlah sukar bagi Rama dan Laksamana untuk berperang karena tempat itu penuh
dengan semak belukar dan akar-akar pohon yang melintang menghambat gerak. Rama
menjauhi tempat itu lalu dibidiknya raksasa itu dengan panahnya. Sesaat kemudian
terlepaslah sebuah anak panah dari busurnya. Anak panah itu menembus dada sang
raksasa. Tiba-tiba raksasa itu berubah menjadi dewa. Rama dan Laksamana
menghampiri dewa itu lalu menyembahnya.
Dewa itu bercerita bahwa ia dahulu terkena kutuk Hyang Siwa sehingga ia berubah
menjadi raksasa berkepala dua. Ia menyatakan terima kasihnya kepada Rama yang
telah memanahnya sehingga ia berubah kembali menjadi dewa. Rama dan Laksamana
meneruskan perjalanannya. Tibalah keduanya pada sebuah telaga lalu mereka beristirahat
di tepi telaga itu. Air telaga itu amat jernih sehingga tampak ikan-ikan yang
berenang di dalamnya. Berbagai jenis ikan itu berenang kian kemari. Ikan-ikan
tersebut bermacam-macam warnanya. Ada yang kuning keemasan, merah berkilauan,
biru, putih, dan kelabu. Udang, kepiting dan penyu tampak pula menghuni telaga
itu. Bunga-bunga teratai mekar di permukaan air telaga. Ada yang merah dan ada
yang putih.
Begitu asyiknya Rama dan Laksamana menikmati keindahan alam sehingga mereka
tidak mengetahui bahwa di belakangnya ada seekor buaya yang mengintai. Mulut
buaya itu terbuka lebar-lebar dan siap hendak menyambar.
Tetapi kedua
satria itu telah terlatih untuk menghadapi setiap bahaya. Ketika buaya itu
mulai bergerak hendak menyergap, Rama dan Laksamana segera membalikkan badan
sambil meloncat menghindari sergapan. Dengan mudah buaya itu dibunuhnya dengan
senjata. Ternyata buaya itu adalah penjelmaan seorang dewi yang dahulu terkena
kutukan dewa. Kini dewi itu terbebas dari kutukan. Setelah mengucapkan terima
kasih kepada Rama dan Laksamana, dewi itu terbang kembali ke sorga. Sebelum
dewi itu terbang kembali ke sorga, ia berpesan kepada Rama agar Rama dan
Laksamana pergi ke hutan Pancawati. Di hutan itulah akan didapatkan petunjuk
guna mencari Sita. Maka berangkatlah Rama dan Laksamana menuju hutan Pancawati.
Betapa jauhnya mereka berjalan, menerobos semak belukar, mendaki gunung,
kemudian menyusuri tepi pantai. Betapa damai hati kedua satria itu melihat
langit yang kebiruan. Sejauh mata memandang tampak cakrawala dan permukaan samudra
yang luas. Kedua satria Ayodya itu berteduh di bawah pohon yang rindang.
Tiba-tiba muncullah seekor kera putih yang sejak tadi telah mengintai
perjalanan kedua satria itu. Kera putih itu tampak bijaksana, bahkan amat sopan
sikapnya terhadap Rama dan Laksamana. Kera putih itu menyembah di hadapan Rama.
Ia menyebut namanya, Hanuman, dan ia berasal dari Pancawati. Rama dan Laksamana
heran menyaksikan kera putih Hanuman yang dapat berbicara seperti manusia.
Hanuman bercerita bahwa rajanya yang bernama Sugriwa berada di hutan Pancawati
karena diusir dari kerajaan Kiskenda oleh kakaknya yang bernama Subali. Hanuman
memohon Rama untuk menolong Sugriwa menduduki kembali takhta kerajaannya. Rama
menyanggupi. Rama pun bercerita bahwa pengembaraannya di hutan itu sebenarnya
untuk mencari istrinya yang diculik oleh raja raksasa Rahwana. Dengan diantar
Hanuman, Rama dan Laksamana pergi menuju hutan Pancawati. Sebagai penunjuk
jalan Hanuman mendahului mereka sambil meloncat di antara pepohonan. Ketika
tiba di suatu tempat Rama merasa kehausan. Laksamana disuruhnya mencari air.
Pada sebuah batang pohon Laksamana melihat air mengalir turun ke bawah. Maka
ditampungnya air itu dengan buluh. Ternyata air itu adalah air mata Sugriwa
yang tengah bertapa duduk di atas sebatang pohon yang tinggi. Hanuman segera
memanjat pohon itu. Lalu Sugriwa pun turun dan bertemu dengan Rama dan
Laksamana. Sugriwa amat terharu mendengar kisah Rama yang tengah hidup dalam
pembuangan. Ditambah pula ia kehilangan istrinya karena diculik oleh raja
raksasa Rahwana. Sugriwa berjanji akan membantu Rama mencari Sita.Rama pun
merasa senasib dengan Sugriwa yang terusir dari kerajaanya. Satria Ayodya itu
menyatakan kesediaannya membantu Sugriwa merebut kembali takhtanya yang diduduki
oleh Subali. Sugriwa diantar oleh Rama pergi ke kerajaan Kiskenda. Hanuman dan
para kera yang ribuan jumlahnya ikut pula mengiringkan. Sesampainya di depan
istana Kiskenda Sugriwa berteriak-teriak memanggil Subali sambil menantang
berperang tanding. Suara Sugriwa begitu kerasnya sehingga Subali terkejut.Hati
Subali amat panas demi mendengar tantangan adiknya. Timbullah amarahnya, lalu
ia bangkit dan keluar dari istana. Ia hendak memenuhi tantangan Sugriwa. Maka
berhadap-hadapanlah kedua kakak beradik itu. Keduanya saling ancam. Dengan
disaksikan ribuan kera, bertarunglah Sugriwa dan Subali dengan amat sengitnya.
Dengan penuh geram keduanya bergantian menyerang, tinju-meninju,
cekik-mencekik, cakar-mencakar dan bergulat tindih-menindih. Debu berkepulan.
Masing-masing memeras tenaga, beradu dan berlaga dengan sengitnya. Pertarungan
kedua kakak-beradik itu belum berakhir juga. Sugriwa dengan sekuat tenaga
mencabut sebatang pohon tal, lalu dihantamkannya kepada Subali. Subali rubuh,
tapi ia segera bangkit lagi. Subali memuncak amarahnya. Sugriwa ditangkapnya, lalu
dilemparkannya jauh-jauh. Sugriwa mendekati Rama dan bertanya mengapa Rama
belum juga membantu. Rama menjawab bahwa ia ragu-ragu untuk melepaskan panahnya
karena Sugriwa dan Subali amat mirip . Rama menyuruh Sugriwa berkalung janur
agar mudah dibedakan dari Subali.
No comments:
Post a Comment