Arjunasasrabahu 2
Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panahtersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan. Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis, saling menyambar dan saling mengejar serta saling menyerang. Benturan keras kedua senjata itu menimbulkan desis suara yang melengking, memiawakkan telinga.
Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Arjuna Wijaya segera melepas panah sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri. Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya. Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara Maespati. Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda(Bambang Sumantri), Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang rnenguasai hampir dua-pertiga jagad raya Meski demikian, Prabu Arjunawijaya tetap memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan perdamaian ; Sugih tanpo bondo, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa merasa mengalahkan).
Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di jagad raya. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan Ekacakra, tempat para bidadari.
Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya. Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu. Dengan disertai Patih Suwanda(Bambang Sumantri), dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing meninggalkan istana Maespati pergi kesebuah dataran rendah antara pegunungan Salva dan Malawa, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai. "Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda." kata Prabu Arjunasasrabahu kepada patih Suwanda. Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa.
Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi, meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur berTiwikrama.
Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Prabu Arjunasasrabahu muncul daerah kering. Di tempat itulah dibuat pesanggrahan mewah semacam istana sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya. Adapun Patih Suwanda, beberapa para raja dan prajurit Maespati membuat pesanggrahan di luar betis yang melintang itu. Banyak sekali ikan-ikan yang menggelepar di tanah kering atau kubangan sisa-sisa air. Hal mi sangat menggembirakan para putri domas dan para dayang, yang saling berebut menangkap ikan sambil bercanda. Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah. Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya yang ahli dalam telik sandi untuk melakukan penyelidikan. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Rahwana, melaporkan hasil penyelidikannya. Dilaporkan oleh Detya Kala Marica, bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang tidur melintang di muara sungai. "Beliau sedang melakukan Tiwikrama. Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar dan setinggi seratus bukit. Itulah mengapa air sungai terbendung dan berbalik arah melanda perbukitan." kata Kala Marica. "Hemmm.. siapa itu Arjunasasrabahu, paman ?" tanya Rahwana."... Prabu Arjunasasrabahu adalah raja negara Maespati yang terkenal sakti mandraguna dan pilih tanding. Beliau bertiwikrama membendung aliran sungai untuk menyenangkan permaisurinya dan para putri domas serta selir-selir yang jumlahnya ribuan orang. Para selir Prabu Arjunasasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dan kesernua para putri itu, yang paling cantik adalah permaisuri Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bhatari Sriwidawati.""Hemmm, sangat kebetulan! Kalau begitu aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!" kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan Aditya Mintragna, Karadusana dan Trimurda untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingatkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kamauannya."Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!" kata Rahwana lantang. Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan. Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati.
No comments:
Post a Comment