Arjunasasrabahu 1
Terlahir dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya ini, setelah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati dikenal dengan Prabu Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena ketika ia bertiwikrama, wujudnya berubah menjadi brahala sewu - raksasa sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu yang keseluruh tangannya memegang berbagai macam senjata sakti.
Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala
berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri
Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah
berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin
memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila
Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad
Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan
mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya.
Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan
Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan
prajurit tak berdosa ?. Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi
tindakan itu bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai Sementara
menempuh perdamaian di negara Magada suatu hal yang sulit dilaksanakan, karena
lebih dari seribu raja dari berbagai negara juga sangat menginginkan Dewi
Citrawati sebagai istrinya. Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi
Citrawati, Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat
berpengaruh dan ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluh lima raja
sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari
berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati
ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan. Tatkala Prabu
Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, datanglah Bambang
Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat
kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna Wijaya menerima
pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi
utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi
Citrawati ke negara Maespati. Persyaratan tersebut diterima oleh Bambang
Sumantri. Dengan kesaktiannya. Sumantri akhirnya dapat menaklukan Prabu
Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya. memenuhi persyaratan pernikahan
Dewi Citrawati berupa Putri Domas (800 orang), dan memboyong Dewi Citrawati dan
Magada ke Maespati. Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang
Sumantri mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput
sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil
mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan.
"Mohon Sri
Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga yang tidak-tidak,
terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati hamba
suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena
hamba sudah berprasetya sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak
akan menikah seumur hidupnya. Karena itulah hamba tidak rela menyerahkan putri
ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang
raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi
Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap
peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada
Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi juga
terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar kota
Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran
Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus
berlangsung dahsyat dan hebat."
Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri. Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading.Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada.
Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri berwarna putih dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan. Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra. Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar.
Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri. Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading.Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada.
Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri berwarna putih dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan. Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra. Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar.
No comments:
Post a Comment