Sudah berabad-abad Petruk
menyaksikan perubahan jaman. Berjuta-juta tingkah-polah manusia dia saksikan.
Ratusan generasi sudah dia lalui. Tetap saja dia tak bisa paham sepenuhnya
bagaimana jalan fikiran makhluk yang bernama manusia.Sebagai salah satu
punakawan. Petruk sudah mengabdi kepada puluhan”ndoro” (tuan), sejak jaman
Wisnu pertama kali menitis ke dunia. Hingga saat Wisnu menitis sebagai Arjuna
Sasrabahu, menitis lagi sebagai Rama Wijaya, menitis lagi sebagai Sri Kresna.Petruk
hanya bisa tersenyum kadang tertawa geli, dan sesekali melancarkan nota protes
akan kelakuan “ndoro-ndoro” (tuan-tuan)-nya yang sering kali tak bisa diterima
nalar. Tapi ya memang hanya itu peran Petruk di mayapada ini. Dia tidak punya
wewenang lebih dari itu. Meskipun sebenarnya kesaktian Petruk tidak akan mampu
ditandingi oleh tuannya yang manapun juga. Sudah berabad-abad Petruk
menyaksikan perubahan jaman. Berjuta-juta tingkah-polah manusia dia saksikan.
Ratusan generasi sudah dia lalui. Tetap saja dia tak bisa paham sepenuhnya
bagaimana jalan fikiran makhluk yang bernama manusia.Sebagai salah satu punakawan.
Petruk sudah mengabdi kepada puluhan”ndoro” (tuan), sejak jaman Wisnu pertama
kali menitis ke dunia. Hingga saat Wisnu menitis sebagai Arjuna Sasrabahu,
menitis lagi sebagai Rama Wijaya, menitis lagi sebagai Sri Kresna.Petruk hanya
bisa tersenyum kadang tertawa geli, dan sesekali melancarkan nota protes akan
kelakuan “ndoro-ndoro” (tuan-tuan)-nya yang sering kali tak bisa diterima
nalar. Tapi ya memang hanya itu peran Petruk di mayapada ini. Dia tidak punya
wewenang lebih dari itu. Meskipun sebenarnya kesaktian Petruk tidak akan mampu
ditandingi oleh tuannya yang manapun juga.
Berbeda dengan Gareng yang
meledak-ledak dalam menanggapi kegilaan mayapada, berbeda pula dengan Bagong
yang sok cuek dan selalu mengabaikan tatakrama. Petruk berusaha lebih realistis
dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi. Meskipun nyeri dadanya acapkali
muncul saat melihat kejadian-kejadian hasil rekayasa ndoro-ndoro nya.Siang itu
Petruk sedang membelah kayu bakar, guna keperluan memasak isterinya. Sudah
seminggu lebih pasokan elpiji murah dan minyak tanah tak sampai ke desanya.Di
desa Karang Kedempel jaman kontemporer seperti saat ini apapun bisa saja
terjadi. Harga beras yang tiba-tiba melonjak melebihi harga anggur Amerika.
Minyak goreng yang mendadak menguap di pasaran. Bahkan beberapa dekade yang
lalu, orang-orang yang suka protes pun bisa saja mendadak lenyap tanpa bekas.
Dan semua pasti akan ditanggapi oleh penguasa Karang Kedempel dengan
mengeluarkan “press release”sebagai sebuah “dinamika pembangunan”
Kelangkaan bahan bakar di
pasaran, melonjaknya harga sembako, mahalnya biaya pendidikan. Yang berujung
pada melebarnya jurang perbedaan kaya-miskin. Adalah hal yang selalu saja
terjadi dari jaman ke jaman. Keadaan masyarakat yang “gemah ripah loh jinawi
toto tentrem kerto tur raharjo” hanyalah sebuah utopia. Yang sering dikatakan
kyai-kyai di langgar-langgar dan surau negara yang “baldatun thoyyibatun wa
robbun gofuur ” hanyalah sekedar lips service semata.Seperti yang sudah diduga
oleh Petruk, Kang Gareng pasti memberikan reaksi dengan caranya sendiri. Hari
ini adalah hari ketiga Gareng berorasi di depan Poskamling, sejak pagi hingga
matahari hampir tenggelam. Berusaha menarik perhatian semua warga desa.
“Saudara-saudaraku, mengapa
semua ini bisa terjadi?” dengan cengkok khas ala Kang Gareng. “Desa kita ini
sedang mengalami degradasi moral dan dekadensi kepribadian. Kebijakan pamong
desa kita tidak terarah dan miskin inovasi.”
“Seharusnya kita mulai
introspeksi, mengevaluasi situasi dan berani melakukan redifinisi. Sehingga
kita bisa meberikan sebuah revitalisasi menuju suatu solusi definitif, guna
mendapatkan outcome terbaik dari apa yang kita harapkan”, bagaikan orang
kesurupan Gareng berorasi tanpa henti. Tak perduli apakah orang-orang yang
berkumpul mengerti apa yang diomongkannya.Petruk tak habis pikir, dari mana
Gareng mendapatkan perbendaharaan kata dan kalimat yang tak ubahnya anggota
DPR. Padahal Gareng tidak pernah “makan” bangku sekolahan. Memang orang pintar
tidak selalu terkenal dan orang terkenal tidak selalu pintar, tapi Petruk tahu
persis bahwa Gareng tidak termasuk diantara keduanya.
Petruk sudah hafal betul dengan
model paham kekuasaan di Karang Kedempel dari waktu ke waktu. Kalau mau,
sebenarnya bisa saja Petruk mengamuk dan menghajar siapa saja yang dianggap
bertanggung jawab atas kesemrawutan pemerintahan. Dengan kesaktiannya, apa yang
tak bisa dilakukan Petruk, bahkan (dulu) pernah terjadi, Sri Kresna hampir saja
musnah menjadi debu dihajar anak Kyai Semar ini.
Tapi Petruk sudah memutuskan
untuk mengambil posisi sebagai punakawan yang resmi. Dia sudah bertekat tidak
lagi mengambil tindakan konyol seperti yang dulu sering dia lakukan. Baginya,
kemuliaan seseorang tidak terletak pada status sosial. Pengabdian tidak harus
dengan menempati posisi tertentu.Seperti yang terjadi pada episode “Petruk
Dadi Ratu” contohnya, sebagai Prabu Kanthong Bolong, Petruk dia
melabrak semua tatanan yang sudah terlanjur menjadi “main stream” model
kekuasaan di mayapada. Dia menjungkirbalikkan anggapan umum, bahwa penguasa
boleh bertindak semaunya, bahwa raja punya hak penuh untuk berlaku adil atapun
tidak.Karuan saja, Ulah Prabu Kanthong Bolong membuat resah raja-raja lain.
Bahkan, kahyangan Junggring Saloka pun ikut-ikutan gelisah. Kawah Candradimuka
mendidih perlambang adanya “ontran-ontran” yang membahayakan kekuasaan para
dewa.Maka secara aklamasi disepakati, skenario “mengeliminir” raja biang
keresahan. Persekutuan raja dan dewa dibentuk, guna melenyapkan suara sumbang
yang mengganggu alunan irama yang sudah terlanjur dianggap indah.Hasilnya?
Ibarat jauh panggang dari api.
Bukannya Kanthong Bolong yang
mati. Tapi raja jadi-jadian Petruk ini malah mengamuk. Siapapun yang mendekat
dihajarnya habis-habisan. Kresna dan Baladewa dibuat babak belur. Batara Guru
sang penguasa kahyangan lari terbirit-birit.Kesaktian dan semua ajian milik
dewa-dewa dan raja-raja, seperti tak ada artinya menghadapi Kanthong Bolong.
Tahta Jungring Saloka pun dikuasai raja murka ini.Keadaan semakin semrawut.
Sampai akhirnya Semar Bodronoyo turun tangan.
“Ngger, Petruk anakku!”, Semar
berujar pelan, suaranya serak dan berat seperti biasanya. “Jangan kau kira aku
tidak mengenalimu, ngger!”
“Apa yang sudah kau lakukan,
thole? Apa yang kau inginkan? Apakah kamu merasa hina menjadi kawulo alit?
Apakah kamu merasa lebih mulia bila menjadi raja? “
“Sadarlah ngger, jadilah
dirimu sendiri“.
Kanthong Bolong yang gagah dan
tampan, berubah seketika menjadi Petruk (yang semua orang tahu, dia sangat
jelek). Berlutut dihadapan Semar. Dan Episode “Petruk Dadi Ratu” pun berakhir
anti klimaks.Petruk tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ah… hanya Hyang Widi
yang perlu tahu apa isi hatiku, selain Dia aku tak perduli”Kembali dia
mengayunkan “pecok”nya membelah kayu bakar. Sambil bersenandung tembang
pangkur:“Mingkar-mingkuring angkoro, akarono karanan mardisiwi, sinawung
resmining kidung, sinubo sinukarto….”Memang tidak mudah jadi seorang Petruk…
No comments:
Post a Comment