ISTILAH PAKEM WAYANG
Pengertian Pakem Wayang Dalam dunia pedalangan
wayang purwa, yang disebut "pakem" ialah cerita "asli" yang
kemudian dipandang sebagai "babon" atau "induk" semua lakon
atau cerita. Dengan kata lain "pakem" lalu berperanan sebagai semacam
tempat penyimpanan lakon (repertoar),sekaligus berfungsi sebagai semacam waduk
atau petandoan (reservoar) dari mana lakon-lakon terbit mengalir. Sebagian oran
berpendapat bahwa dunia pedalangan wayang Jawa bersumber pada (atau bahkan
boleh dikata) usaha penceritaan ulang atau pembayangan kembali tentang kisah
bertumimbalnya hidup,yaitu proses perulangan sekaligus perkembanganya,baik
hidup "jagad gedhe",atau dunia semesta,maupun "jagad
cilik",atau dunia manusia. Dalam pandangan pewayangan Jawa,sekaligus Jawa
pewayangan,tentang tumimbalnya dua "jagad" itu melalui perjalanan
yang sama: lahir tua mati. "Lahir" ialah penjadian atau peremajaan
"dumadi" ("titah" atau "makhluk"),yang sesudah
melalui perjalanan menjadi "tua", akan diakhiri dengan
"mati" sebagai jalan pelepasan dari perjalanan ketuaan itu. Begitu
manusia atau jagad cilik,begitu jugalah semesta raya atau jagad gedhe. Menurut
ajaran mitologi Hindhu "jagad gedhe" ini membawa serta "jagad
cilik di dalamnya dan ada dalam kekuasaan satu dewa yang dalam peranannya
beraspek tiga: mencipta, memelihara dan memusna. Tiga aspek kuasanya itu mewujud
dalam pribadi tiga dewa trimurti: Brahma,Wisnu dan Siwa. Brahma sebagai Dewa
Pencipta,Wisnu sebagai Dewa Pemelihara,dan Siwa sebagai dewa Pemusnah.
Selanjutnya "jagad gedhe" dengan "jagad cilik" terbawa
serta,mengalami kisah tumimbal hidup sepuluh kali.
Dalam pewayangan masing-masing babakan kisah itu disebut "babad". Wisnu sebagai sang pemelihara jagad, berbeda dengan Brahma sang pencipta dan Siwa sang penghancur, perlu bertumimbal hidup lahir tua dan mati bersama para "titah" atau "dumadi" atau "makhluk". Oleh karena itu, dalam dunia pewayangan, setiap babakan kisah atau "babad" akan dipimpin oleh titisan atau "awatara" Wisnu yang berganti-ganti. Menurut mitologi Hindu Jawa, ada sepuluh "babad" atau babakan kisah penitisan Wisnu di dunia, yaitu diawali dengan Wisnu menitis sebagai "matsya" atau ikan besar, dan ditutup kelak menitis sebagai danawa Kalki pada awal "kaliyuga" atau "jaman kalabendu", jaman serba sengsara. Tetapi dari sepuluh babakan kisah itu, hanya tiga di antaranya yang dikisahkan dalam rangkaian lakon, untuk digunakan sebagai "wayang", bayangan, "gegambaran" atau suri tauladan, dan selanjutnya diperagakan dengan "boneka" atau "anak wayang" sebagai wahana. Tiga babakan kisah itu ialah semasa penitisan Wisnu yang keenam, yaitu ketika Wisnu menitis sebagai brahmana yang bersenjata kampak atau Parasurama; penitisan Wisnu yang ketujuh, yaitu Wisnu menitis sebagai Rama raja Ayudhya; dan penitisan Wisnu kedelapan, yaitu Wisnu menitis sebagai Kresna, raja Dwarawati. Dalam dunia pedalangan wayang Jawa, yang tersebut pertama terhimpun dalam pakem lakon atau babad Lokapala, ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Harjunasasrabahu; yang tersebut kedua dalam pakem lakon Ramayana, ketika Wisnu menjelma dalam raga Raja Ramawijaya; yang tersebut ketiga dalam pakem lakon Mahabharata, ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Kresna. Ketiga-tiga "sumber" lakon wayang itulah yang dinamai "pakem". Dari pakem rangkaian lakon yang panjang ini (Bratayudha saja, misalnya, yaitu bagian akhir dari seluruh rangkaian lakon Mahabharata, memerlukan waktu pergelaran selama tujuh hari tujuh malam) bisa dipecah-pecah menjadi sekian banyak fragmen, yaitu cuplikan atau petikan lakon. Misalnya, dari Babad Lokapala, diambil fragmen "Sumantri Ngenger", yaitu ketika pemuda Sumantri berangkat meninggalkan desanya menuju ke kota untuk menghamba pada Raja Harjunasasrabahu. Atau fragmen "Rama Tambak" dari Ramayana misalnya, yaitu bagian lakon ketika balatentara monyet, di bawah pimpinan seekor monyet putih, Anoman, sebagai panglima, mereka membendung selat antara anak benua Jambudwipa dengan pulau Alengka. Dengan demikian kita ketahui, dari satu "pakem" bisa lahir fragmen lakon yang tak terhitung banyaknya. Selain dari itu, juga atas dasar "pakem" tersebut setiap dalang mempunyai kebebasan untuk menciptakan lakon gubahan sendiri. Lakon-lakon baru gubahan dalang ini disebut lakon "carangan". Kata "carangan" berasal dari kata "carang", ialah cabang atau ranting dari satu batang bambu "batang bambu" itulah "pakem", yang bisa dipenggal-penggal dalam seribu-satu penggalan; selain juga menumbuhkan "carang-carang" yang tak terbilang banyaknya.
Dalam pewayangan masing-masing babakan kisah itu disebut "babad". Wisnu sebagai sang pemelihara jagad, berbeda dengan Brahma sang pencipta dan Siwa sang penghancur, perlu bertumimbal hidup lahir tua dan mati bersama para "titah" atau "dumadi" atau "makhluk". Oleh karena itu, dalam dunia pewayangan, setiap babakan kisah atau "babad" akan dipimpin oleh titisan atau "awatara" Wisnu yang berganti-ganti. Menurut mitologi Hindu Jawa, ada sepuluh "babad" atau babakan kisah penitisan Wisnu di dunia, yaitu diawali dengan Wisnu menitis sebagai "matsya" atau ikan besar, dan ditutup kelak menitis sebagai danawa Kalki pada awal "kaliyuga" atau "jaman kalabendu", jaman serba sengsara. Tetapi dari sepuluh babakan kisah itu, hanya tiga di antaranya yang dikisahkan dalam rangkaian lakon, untuk digunakan sebagai "wayang", bayangan, "gegambaran" atau suri tauladan, dan selanjutnya diperagakan dengan "boneka" atau "anak wayang" sebagai wahana. Tiga babakan kisah itu ialah semasa penitisan Wisnu yang keenam, yaitu ketika Wisnu menitis sebagai brahmana yang bersenjata kampak atau Parasurama; penitisan Wisnu yang ketujuh, yaitu Wisnu menitis sebagai Rama raja Ayudhya; dan penitisan Wisnu kedelapan, yaitu Wisnu menitis sebagai Kresna, raja Dwarawati. Dalam dunia pedalangan wayang Jawa, yang tersebut pertama terhimpun dalam pakem lakon atau babad Lokapala, ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Harjunasasrabahu; yang tersebut kedua dalam pakem lakon Ramayana, ketika Wisnu menjelma dalam raga Raja Ramawijaya; yang tersebut ketiga dalam pakem lakon Mahabharata, ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Kresna. Ketiga-tiga "sumber" lakon wayang itulah yang dinamai "pakem". Dari pakem rangkaian lakon yang panjang ini (Bratayudha saja, misalnya, yaitu bagian akhir dari seluruh rangkaian lakon Mahabharata, memerlukan waktu pergelaran selama tujuh hari tujuh malam) bisa dipecah-pecah menjadi sekian banyak fragmen, yaitu cuplikan atau petikan lakon. Misalnya, dari Babad Lokapala, diambil fragmen "Sumantri Ngenger", yaitu ketika pemuda Sumantri berangkat meninggalkan desanya menuju ke kota untuk menghamba pada Raja Harjunasasrabahu. Atau fragmen "Rama Tambak" dari Ramayana misalnya, yaitu bagian lakon ketika balatentara monyet, di bawah pimpinan seekor monyet putih, Anoman, sebagai panglima, mereka membendung selat antara anak benua Jambudwipa dengan pulau Alengka. Dengan demikian kita ketahui, dari satu "pakem" bisa lahir fragmen lakon yang tak terhitung banyaknya. Selain dari itu, juga atas dasar "pakem" tersebut setiap dalang mempunyai kebebasan untuk menciptakan lakon gubahan sendiri. Lakon-lakon baru gubahan dalang ini disebut lakon "carangan". Kata "carangan" berasal dari kata "carang", ialah cabang atau ranting dari satu batang bambu "batang bambu" itulah "pakem", yang bisa dipenggal-penggal dalam seribu-satu penggalan; selain juga menumbuhkan "carang-carang" yang tak terbilang banyaknya.
No comments:
Post a Comment