Ramaparasu juga bernama Ramabargawa ,
karena bersenjatakan Bargawastra. Ia juga bernama Ramawadung, karena
bersenjatakan kapak (wadung). Ramaparasu adalah putra bungsu dari Brahmana
Jamadagni yang beristrikanDewi Renuka. Jamadagni semula adalah seorang raja,
tetapi kemudian ia mengambil keputusan akan hidup sebagai pertapa. Meraka
meninggalkan hidup kemewahaan duniawi dan ingin hidup damai dalam sebuah
padepokan. Namun tak lama kemudian datanglah suatu malapetaka yang tidak
terduga-duga menimpanya. Pada suatu hari, datanglah seorang
raja Citrarata namanya yang sedang berburu dan kemudian singgah mandi di telaga
dekat padepokan. Ia adalah seorang raja yang tampan dan cakap, serta memiliki
suara merdu yang mampu menggoncangkan iman tiap gadis yang melihat dan
mendengarnya. Pada saat itu Renuka kebetulan sedang memetik sayur-sayuran. Ia
mengarahkan pandangan matanya kepada seorang laki-laki cakap yang polos sedang
berdendang dalam telaga. Dewi Renuka yang sudah bertahun-tahun tersekap di
tengah hutan, gugurlah imannya. Saking “kepencutnya” akhirnya timbul pikiran
yang nekat. Lupalah ia akan norma-normal susila yang sudah bertahun-tahun
dianutnya. maka dilepaskanlah busananya dengan perlahan-lahan dan dengan polos
ia berenang mendekati sang satria menuruti birahinya yang sedang bergolak
membentur-bentur dadanya.
Tak perlu diceriterakan lebih
lanjut, maka tiba-tiba awan menjadi mendung, matahari berhenti menyinarkan
cahaya, dan gelap gulitalah di kanan kiri telaga. Guntur, guruh, geledek
gemuruh suaranya membelah angkasa, sedang dua insan yang sedang dimabuk asmara
telah tenggelam dalam alunan asmara. Pendek kata “No comment”. Sedang
Jamadagni; sebagai seorang yang sudah mencapai tingkat Brahmana, sudah tidak
was-was lagi terhadap malapetaka yang menimpa kepada keluarganya. Namun ia
harus dapat menutupi kemarahan hatinya dan tidak boleh menuruti emosi gugatan
lahirnya, maka dipanggilnya isterinya. Untuk waktu yang lama ia tidak berbicara
sepatahpun. Kemudian berkatalah Jamadagni:
“Adinda Renuka, kini bunga melati
yang tumbuh di tengah-tengah pertapaan telah layu. Tunjukkanlah aku, jalan apa
untuk menyelamatkan bunga tersebut?” Dewi Renuka tak dapat menjawab hanya
menundukkan kepala dan tiba-tiba badannya menggigil, parasnya pucat sambil
mencucurkan air mata. Hampir ia jatuh pingsan karena tak kuasa menahan getaran
jiwanya.Tiba-tiba kelima putra termasuk Ramabargawa, datang menghadap. Brahmana
Jamadagni kemudian menceritakan kejadian yang telah menimpa ibunya. Kepada
putra-putranya berkatalah Jamadagni:
“Hai putra-putraku, ibumu ini telah
tersiksa hatinya, karena itu agar ibumu terlepas dari siksaan, bunuhlah ibumu
sekarang juga.”Bukan main terkejutnya putra-putra Jamadagni mendengera perintah
ayahnya yang kejam itu. Satu persatu putranya yang diperintah tiada mau
melaksanakannya, maka Jamadagni berkata dengan upatanya:“Jika engkau sekalian
tidak mau melaksanakan perintahku, kalian itu tak ubahnya binatang. Seketika
itu juga keempat putranya menjadi binatang. Kini Ramaparasu lah yang mendapat
perintah. Kata Jamadagni:“Hai Ramaparasu, sanggupkah kau melaksanakan perintah
ayahmu?”
Ramaparasu hanya menganggukkan
kepala. Ia segera berdiri menyembah dihadapan ibunya. Ditariknya tali busur dan
terlepaslah anak panah menembus dada ibunya jatuh terkulai ditanah tak
bergerak. Darahnya menyembur membasahi seluruh lantai pertapaan. Ramaparasu
datang bersembah kepada ayahnya dan sesudah itu Jamadagni berkata:“Hai
Ramaparasu, engkau satu-satunya putraku yang sanggup melaksanakan perintah
ayahmu. Karena itu mintalah lima hal kepadaku, Dewa akan mengabulkan.”
“Permintaan hamba, pertama hidupkan
kembali ibuku, kedua kembalikan keempat saudaraku seperti semula, ketiga
hilangkan dosaku terhadap ibuku, ke empat berilah aku umur panjang, ke lima
berilah aku kesaktian yang tiada tanding yang tiada taranya dan hanya dapat
mati oleh tangan Dewa Wisnu sendiri”.Demikian permohonan Ramabargawa kepada
ayahnya setelah membunuh ibunya. Permintaan Ramaparasu dikabulkan. Pendek kata
ibu dan keempat saudaranya kembali seperti semula dan hidup rukun tak kurang
suatu apa. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Malapetaka kedua
menyusul menimpa keluarganya. Prabu Hehaya telah datang ke pertapaan dan
merampas semua lembu, kerbau dan semua harta miliknya bahkan hampir juga akan
memperkosa Renuka. Tentu saja Resi Jamadagni ingin mempertahankan apa yang
telah dikumpulkan dan apa yang telah dimilikinya. Ada pepatah “senyari bumi
sedumuk batuk”. Namun Prabu Hehaya dengan sangat kejam, sadis dan tanpa
perikemanusiaan membunuh Jamadagni di depan isterinya. Ratap tangis menjerit
membelah angkasa sampai terdengar oleh Ramaparasu yang ketika itu sedang berada
di telaga pertapaan. Bukan main sakit hatinya ketika dilihat ayahnya yang sangat
dihormati dan dicintainya telah meninggal dengan hina. Maka ia memeluk mayat
ayahnya sambil sujud dan menciumi sejadi-jadinya.
Setelah sadar Ramaparasu berdiri
tegak sambil berteriak bersumpahlah ia.“Mulai saat ini aku bersumpah, bahwa
demi kesejahteraan dan keselamatan manusia, aku ingin membunuh seluruh manusia
yang telah datang membunuh ayahku. Aku membenci dharma satria yang sangat
memuliakan perang. Padahal perang adalah jahat. Karena yang membunuh ayahku
juga golongan satria, maka aku berjanji dengan senjata kapak, panah, dan
Bargawastra ini akan kubunuh semua satria yang bertemu dengan aku”.
Setelah sujud dan memohon diri
kepada saudara-saudarana, ia mengambil senjatanya dan menghilang dalam hutan
belantara untuk melampiaskan sumpahnya. Dapatkah Ramabargawa memaklumi
sumpahnya? Baiklah kita lihat nanti. Yang jelas dari lakon ini dapat diambil
pelajaran bahwa: Jamadagni membenci kepada kehidupan laku raja dan apa yang
disebut duniawi dan laku Satria. Ceritera tersebut mengandung petuah: hidup
janganlah melarikan diri dari sesuatu kesukaran yang dibenci. Karena kemanapun
manusia pergi menyembunyikan diri, disitu pulalah akan berjumpa dengan apa yang
dibencinya.
Oleh karena itu manusia harus berani
menatap hidup dan mampu menjadi saksi bagi dirinya sendiri secara konkrit
eksistensiel. “Jangan menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuanmu; mereka
yang menginginkan sesuatu diatas kemampuannya sendiri berarti melakukan sesuatu
yang mengandung kepalsuan yang penuh dosa.” Disamping itu dalam cerita ini
digambarkan bahwa manusia selalu dihadapkan suatu dilemma atau pilihan. Jamadagni
harus memilih, “membunuh isterinya atau membiarkan istrinya
tersiksa”.Sebaliknya Ramaparasu juga harus memilih “membunuh ibunya atau
menentang ayahnya.”Itulah yang dinamakan hidup. Manusia akan terus menerus
dihadapkan kepada suatu pilihan dan harus memilih. Tidak memilihpun sudah
berarti memilih.
No comments:
Post a Comment