Meskipun selalu berusaha
memahami keadaan sebagaimana apa adanya, Petruk tidak sepenuhnya bisa menerima
jalan fikiran tuan-tuanya yang seringkali melanggar “paugeran” (aturan), bahkan
tak jarang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.Bendoro-bendoronya yang
selalu diasumsikan sebagai pihak yang benar, ternyata pada kenyataannya
seringkali melakukan tindakan yang cenderung keji. Kenyataan yang mau tidak mau
menimbulkan perang di batin Petruk, perang batin yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya.
“… midero sak jagat royo,
kalingono wukir lan samudro, nora ilang memanise, dadi ati selawase…”
Meskipun selalu berusaha
memahami keadaan sebagaimana apa adanya, Petruk tidak sepenuhnya bisa menerima
jalan fikiran tuan-tuanya yang seringkali melanggar “paugeran” (aturan), bahkan
tak jarang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.Bendoro-bendoronya yang
selalu diasumsikan sebagai pihak yang benar, ternyata pada kenyataannya
seringkali melakukan tindakan yang cenderung keji. Kenyataan yang mau tidak mau
menimbulkan perang di batin Petruk, perang batin yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya.
“… midero sak jagat royo, kalingono
wukir lan samudro, nora ilang memanise, dadi ati selawase…”
Sayup-sayup
tendengar tembang mendayu-dayu, membuat Petruk menghentikan ayunan kapaknya.
Dia teringat kejadian yang menyedihkan sekaligus memalukan, kisah tumpasnya
Ekalaya Awal peristiwa terjadi di suatu siang yang gerah di tepi hutan yang
nampak sejuk. Petruk tak mampu menyembunyikan kegelisahan, dia menangkap gejala
alam, sesuatu akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan. Semar
memejamkan pura-pura tidur, Gareng sibuk menulis puisi tentang kegelisahan
hati. sedangkan Bagong mondar mandir dengan wajah seperti arca tanpa ekspresi.
Semua gelisah. Mereka sedang menemani momongan sekaligus tuan mereka, Raden Arjuna
yang juga bernama Janaka, Permadi atau Parto, satria lelananging jagat panengahing
pandawa. Mereka sadar sepenuhnya bahwa masalah yang akan timbul bersumber pada
momongan mereka ini.
Sangat jelas dimata batin
Petruk, aura yang nampak dari pancaran wajah ndoronya ini. Aura yang memalukan,
aura yang bersifat “rendah”. Dan Petruk pun sudah sangat hafal dengan tabiat
tuannya yang satu ini. Kegelisahan para punakawan ini segera terjawab. Tiba-tiba dihadapan
mereka mucul seorang kesatria tampan (meskipun tak serupawan Arjuna), berkacak
pinggang dengan wajah marah. “Hai Arjuna, kalau kamu memang merasa laki-laki
hadapi aku, Ekalaya” Laki-laki ini adalah Bambang Ekalaya, raja kerajaan Nisada. Apa
pasalnya sehingga lelaki gagah ini sedemikian murkanya? Beberapa saat yang lalu
saat matahari baru saja memancarkan sinarnya ke bumi, ditepi hutan ini, ada
seorang wanita cantik yang sedang dikejar-kejar oleh segerombolan raksasa.
Setelah terkejar wanita ini dekepung rapat. Raksasa-raksasa ini berhaha-hihi,
bagai segerombolan kucing yang berebut seekor tikus.
Dewi Angraeni nama wanita cantik
ini. Apa daya seorang wanita dihadapan segerombolan raksasa? Dia hanya bisa
berteriak meminta tolong.Teriakannya terdengar oleh Raden Arjuna. Bagi Arjuna
yang sakti mandraguna, bukanlah hal yang sulit untuk bertindak. Dengan sekali
sentakan, hilang sudah nyawa semua raksasa. Arjuna memandang
Anggraeni dengan tatapan mata aneh, tatapan mata yang muncul karena bangkitnya
dorongan yang bersifat rendah. Senyum Arjuna juga senyum kurang ajar. Anggraeni
bukannya tidak merasakan hal ini.Sang dewi mengucapkan terimakasih atas
pertolongan yang diterimanya.Tapi ternyata ucapan terimakasih saja, tidak cukup
bagi Raja Madukara ini. Den Bagus Casanova Raden Janaka, playboy kelas
internasional yang jumlah isterinya sudah tak terbilang ini menginginkan yang
lebih dari itu!!! Dia menginginkan dilayani bercinta sebagai imbalan jasanya!!!
Duh Gusti…“ Saya sudah bersuami, Raden”, tampik Anggraeni
“Apa masalahnya kalau kamu sudah
bersuami? aku bisa membunuh suamimu”, jawab Arjuna enteng. “Dan lagi pula
apakah suamimu setampan aku? Apakah dia sekaya aku? Aku ini Raja agung”Anggraeni
juga tahu Arjuna gagah perkasa tampan tiada banding, dia juga tidak memungkiri
sesungguhnya dia juga tertarik. Namun bagi Anggraeni, cinta terlalu agung untuk
diperjualbelikan. Dia bercinta karena memang mencintai. Baginya tidak ada cinta
bagi laki-laki macam Arjuna. Anggraeni adalah pribadi yang bahagia dengan
bersetia kepada cintanya. Dia menolak keras!!! Sebelumnya, Arjuna tak pernah menerima penolakan
dari wanita. Ratusan wanita dan dewi-dewi dari kahyangan pun berebut untuk
jatuh dalam pelukan Don Juan titisan Batara Indra ini.
Penolakan ini semakin menyulut
birahi Arjuna. Kobaran nafsu membuat buta hatinya. Dia hendak memaksakan
kehendaknya. Anggraeni terancam menjadi korban perkosaan. Apalah daya Anggraeni
berhadapan dengan kesaktian Arjuna? Dia berlari…. sampailah ke tepi jurang!!!
Dead end!!! Jalan buntu!!! Dalam putus asa nya, Anggraeni melompat ke jurang.
Luncuran tubuhnya ke jurang yang sangat dalam membuatnya pingsan. Untunglah
seseorang menyambar tubuhnya sebelum terbentur dasar jurang, orang itu adalah
Dewi Ipri, ibunya sendiri. Dewi Anggraeni adalah isteri Bambang Ekalaya yang
sedang berhadapan dengan Arjuna. Dia menuntut pertanggungjawaban atas perlakuan
yang diterima isterinya. Sangat wajar kalau Ekalaya jadi berang. Jangankan seorang raja,
Petruk pun akan mengangkat pecoknya kalau isterinya diganggu orang. Tantangan
Ekalaya dilayani oleh Arjuna. Duel berlangsung singkat. Hanya satu jurus,
Arjuna terkapar tak bernyawa!!!
Bagaimana bisa jagoan andalan
Pandawa yang sakti mandraguna, murid terkasih Pendeta Durna, kalah oleh seorang
yang tidak terkenal? Sepuluh tahun sebelumnya, Ekalaya pernah datang menghadap Durna
untuk diterima sebagai murid. Durna menolak, karena Ekalaya hanyalah raja
sebuah kerajaan kecil. Durna hanya menerima murid dari kalangan
kerajaan-kerajaan besar dan elit macam Astina, Nisada tidak masuk itungannya.
Penolakan Durna tidak membuat
Ekalaya patah semangat. Dia menyepi dan mendirikan sebuah tenda di sebuah tempat
rahasia. Di dalam tenda itu dia mengukir sebongkah kayu menjadi patung Durna.
Setiap hendak mengasah ilmu kanuragan, dia selalu bersemedi di depan patung
Durna, memohon bimbingan dari “guru”nya. Dia bukan sekedar murid yang hanya
“menerima” tapi dia adalah murid yang “mencari”, murid yang “mencari” akan
selalu lebih hebat daripada seorang murid yang hanya “menerima”. Oleh karena
itu Ekalaya jauh lebih sakti ketimbang Arjuna. Ekalaya menginjak dada
Arjuna dan berkata “Kalau ada yang tidak menerimakan kematian keparat ini,
silahkan datang padaku”. Dan kemudia dia berlalu. Wajah Petruk pucat pasi,
tidak tahu harus berbuat apa. Dia faham betul siapa yang bersalah. Gareng
meratap dan bersiap dengan bait-bait sajak duka nya. Bagong menangis
menjerit-jerit. Menangis memang adalah salah satu tugas punakawan, mereka menangis
bukan karena menangisi kepergian tuannya. Mereka menangis menyesali alasan
kematian Arjuna. Mereka malu mengetahui kelakuan tidak bermartabat tuannya. Semar tetap
mendengkur. Petruk tahu persis bahwa bapaknya itu hanya pura-pura tidur…Gareng
sudah mulai dengan sajaknya, “Bumi akan berduka, langit akan menangis
bertahun-tahun, mengiringi kepergian Raden Arjuna. Seluruh rakyat akan
berkabung dan meratapi pemakaman raja yang agung…”
“Tidak ada pemakaman dan tidak
ada perkabungan!!!”, tiba-tiba saja Sri Kresna sudah berdiri dihadapan Gareng
dan membentak. “Gimana toh Ndoro Kresna ini, apa jasad Den Rejuno dibiarkan dimakan
anjing hutan, kok nggak dimakamkan, pripun toh, nganeh-anehi?” Bagong nimbrung. “Arjuna belum
waktunya mati, ” Kresna berujar.“Oooo… jadi Yamadipati si Dewa Maut salah
administrasi ya?” Bagong memang tidak sopan.
“Perang Baratayudha memerlukan
keberadaan Arjuna. Adik iparku ini harus hidup lagi” Kresna semakin tegas,
sembari mengeluarkan pusaka Kembang Wijayakusuma untuk menghidupkan lagi Raden
Arjuna “Biyuh… orang mau mati kok nggak boleh. Apa hanya gara-gara
Baratayudha trus Den Rejuno harus hidup terus? Lha kok enak” Bagong makin tak
terkendali, “Lha apa para dewa di kahyangan sudah terlanjur mengeluarkan biaya
yang besar untuk skenario perang Baratayudha? Sehingga perang nggak boleh
batal?” “Kamu bisa diam atau tidak???” Kresna membentak, wajah Bagong tetap
datar dan dingin seperti dinding candi.“Apa yang terjadi Kanda Prabu?” Yudistira
datang dan bertanya, diikuti oleh Bima, Nakula dan Sadewa. Lengkaplah
Pandawa!!!“Ah… Dimas Yudistira sudah datang, aku akan menghidupkan lagi Dimas
Permadi yang baru saja dibunuh oleh penjahat Ekalaya, lalu…” “Yang penjahat
bukan Ekalaya!!!” Petruk memotong kalimat Kresna yang belum selesai.“Jaga
mulutmu Petruk!!!” “Justeru karena saya menjaga mulut, maka saya bicara yang
sebenarnya!!!” Dengkuran Semar yang mendadak makin keras menghentikan perdebatan
Kresna-Petruk.
Suasana jadi kaku. Yudistira nampak
bersedih. Bima menggeretakkan gigi tanpa mengeluarkan satu kata pun. Bima
adalah orang yang jujur, dia marah bukan karena Arjuna terbunuh, tapi dia
sangat malu mengetahui alasan mengapa adiknya menemui ajal. Kresna
menghampiri jasad Arjuna. Sekali usap hiduplah kembali Raden Arjuna!!! “Terimakasih
Kakang Kresna, sekarang saya akan pergi menuntut balas”, kalimat pertama yang
keluar dari mulut Arjuna membuat Petruk mendadak mual hebat. Kresna
tersenyum, “Seribu Arjuna tak akan mampu menandingi kesaktian satu orang
Ekalaya, Dimas harus faham hal ini” “Kalau begitu biarkan saya mati menebus malu,
saya, Arjuna, tidak mau hidup satu atap langit dengan Ekalaya” “Baiklah kalau
begitu, biarkan saya yang akan menyelesaikan masalah kecil ini. Dimas
Yudistira, ajak adik-adikmu pulang ke Amarta. Gareng, Petruk, Bagong ikut aku.
Eee lhadalah… Kakang Semar lha kok malah tidur terus?” “Hemmm….., Anakmas Prabu
tahu persis apa yang saya lakan lakukan kalau saya tidak tidur, oaahmmmm” Semar
menjawab pertanyaan Kresna, dan tidur lagi. Petruk tahu persis bahwa
Kresna adalah rajanya ahli tipu muslihat, dia berusaha menerka apa yang akan
dilakukan titisan Wisnu ini. Dan Petruk juga gemas melihat bapaknya tidak
berkomentar apa-apa. Sambil menahan gejolak hati dia mengikuti langkah kedua
saudaranya, dia bisa merasakan akan ada kejadian yang lebih memalukan.
Ternyata Kresna mengendap
bagaikan maling, masuk kedalam tenda rahasia Ekalaya, kemudian bersembunyi
dibelakang patung Resi Durna!!! Petruk semakin mual disertai dengan nyeri dada
hebat melihat hal ini. Ekalaya masuk ke dalam tenda beberapa saat kemudian. Dia berlutut
didepan “guru”nya, semedi, menghaturkan terimakasih yang tak terhingga, karena
atas restu gurunya, dia memiliki kesaktian melebihi Arjuna, murid terkasih Resi
Durna, murid “guru”nya. “Ekalaya! Apa yang telah kamu lakukan?” Patung Durna bersuara,”Kamu
telah membunuh murid ku yang paling kusayangi!” Ekalaya bersujud,
“Maafkan saya Guru, saya membunuh Arjuna adalah sebuah kewajaran” “Kalau begitu,
adalah sebuah kewajaran juga kalau aku sekarang marah kepadamu” “Baiklah Guru,
jika demikian, ijinkan saya menerima kewajaran berikutnya. Kalau Guru
menginginkan nyawaku, ambil saja, saya ikhlas” “Tidak Ekalaya, aku tidak
menghendaki nyawamu. Tapi serahkan cincin di jari manismu itu”
Ekalaya seratus persen sadar,
bahwa cincin ampal gading yang melingkar di jari manisnya adalah akumulasi daya
kesaktian yang didapatkan selama ini. Tanpa cincin itu dia bukan lagi Ekalaya
yang sakti, dia akan menjadi manusia biasa. Namun Ekalaya beranggapan
bahwa kesaktiannya selama ini dia dapatkan berkat bimbingan Resi Durna. Dan
karena itu Durna sangat berhak memintanya kembali. Dengan hati yang tulus
ikhlas, Ekalaya sujud semakin dalam, melepaskan dan menyerahkan cicin itu. Pada saat yang
bersamaan, sebilah keris melayang dari belakang patung Durna, menembus dada
kiri Ekalaya!!! Inilah saat yang kritis, detik-detik yang merupakan batas,
batas yang kabur antara duka dan bahagia seorang anak manusia.
“Keparat kamu Durna…”, Ekalaya
tersungkur !!! Dia sangat kecewa atas keculasan Durna!!! Gurunya!!! Nyawanya
meninggalkan raga dengan sejuta dendam. Dari kejauhan, para
punakawan ribut berteriak melihat kejadian ini. Petruk terduduk lemas
dengan tatapan kosong. “Reng…, lihat itu… itu….!!! yang membunuh Ekalaya bukan Durna, tapi
Kresna!!!” Bagong yang tak tahu tata krama memang seringkali memanggil orang
tanpa embel-embel penghormatan “Bagong menyun, Bagong druhun!!! Meskipun mataku
tidak sebesar matamu, tapi aku, Gareng, Kakangmu ini tidak buta!!! Aku juga
tahu kalau Prabu Kresna pelakunya!!! Aduh Gusti kang Moho Widhi, mengapa kau
biarkan semua ini terjadi”
Semar mendengkur semakin keras.
Ketiga anaknya hanya ribut tak berani melakukan apa-apa, karena bapakanya juga
tak melakukan apa-apa, mereka hanya menunggu reaksi Semar. Petruk semakin
tidak mengerti sikap bapaknya yang membiarkan semua ini terjadi. Apa sulitnya
bagi Semar untuk menghalangi keculasan Kresna? Kesaktian Semar tak
tertandingi oleh siapapun juga. Seluruh dewa-dewa dikahyangan maju bersama ditambah
dengan seribu Kresna pun tak akan mampu menandingi kesaktian Sang Hyang Ismoyo
ini. Tapi ternyata Semar tak kunjung melakukan sesuatu. Hati Petruk terguncang!!!
Jiwanya terluka!!! Tanpa disadari, dia berjalan meninggalkan kakak dan adiknya
yang masih ribut, meninggalkan bapaknya yang tetap tidur, meninggalkan tempat
yang menjadi saksi bisu tragedi kehidupan. Perasaan Petruk semakin
teriris mengetahui Dewi Anggraeni yang bersedih dan berkabung sepanjang
hidupnya. Dia ingin menghibur tapi tidak punya keberanian, dia malu bertatapan
mata. Malu karena tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya memandang Dewi anggraeni
dari kejauhan, setiap hari, setiap saat, hingga penghujung hayat Sang Dewi. Duh… Gusti
Kang Murbeng Dumadi yang kuinginkan hanyalah cintaMu Petruk menghela nafas
panjang, mengenang semua peristiwa itu. Kemudian dia kembali mengayunkan
kapaknya membelah kayu bakar. Sambil mengalunkan tembang asmorondhono, tembang
kerinduan.“…naliko niro ing dalu, atiku lam-lamen siro wong ayu, nganti mati
ora bakal lali, lha kae lintange mlaku”
No comments:
Post a Comment