Memang benar bahwa Semar bukan
bapak kandung Petruk. Juga benar bahwa Jelmaan Sang Hyang Ismoyo ini yang
menyeret Petruk ke Mayapada. Tapi tak ada sedikitpun perasaan menyalahkan
bapaknya atas semua kejadian yang telah terjadi padanya. Tak ada secuil pun
fikiran bahwa dirinya di fitakompli oleh Kiai Semar Bodronoyo. Petruk tak
pernah menyesali ujudnya yang tidak proporsional, jauh dari postur ideal
seorang manusia. Hidung kelewat panjang, lengan yang menjulur kebawah melampaui
lutut, badan kurus tapi perutnya buncit, wajah tirus mulut lebar hampir menyentuh
telinga. Padahal dulunya, sebelum menjadi Petruk, dia ini bernama Prabu
Mercukilan, raja jin yang tampan dan gagah perkasa. Kesaktian Prabu Mercukilan
tidak ada yang menyangsikan.
Memang benar bahwa Semar bukan bapak kandung
Petruk. Juga benar bahwa Jelmaan Sang Hyang Ismoyo ini yang menyeret Petruk ke
Mayapada. Tapi tak ada sedikitpun perasaan menyalahkan bapaknya atas semua
kejadian yang telah terjadi padanya. Tak ada secuil pun fikiran bahwa dirinya
di fitakompli oleh Kiai Semar Bodronoyo. Petruk tak pernah
menyesali ujudnya yang tidak proporsional, jauh dari postur ideal seorang
manusia. Hidung kelewat panjang, lengan yang menjulur kebawah melampaui lutut,
badan kurus tapi perutnya buncit, wajah tirus mulut lebar hampir menyentuh
telinga. Padahal dulunya, sebelum menjadi Petruk, dia ini bernama Prabu
Mercukilan, raja jin yang tampan dan gagah perkasa. Kesaktian Prabu Mercukilan
tidak ada yang menyangsikan.
Suatu saat Prabu Mercukilan memasuki kahyangan
Junggring Saloko, minta salah seorang dewi kahyangan bernama Utari untuk
dijadikan isteri. Permintaannya ditolak, raja jin ini mengamuk mengobrak-abrik
kerajaan dewa-dewa tersebut. Tak ada satu dewa pun yang mampu mengimbangi
kesaktian raja yang kasmaran ini. Batara Guru Sang Hyang Otipati si Maha Dewa
pun tak luput dibuat babak belur. Keributan di kahyangan ini akhirnya dapat diredam
setelah Kiai Semar bersedia turun tangan. Meskipun tidak mudah, akhirnya Prabu
Mercukilan dapat ditaklukkan Kiai Semar setelah menjalani pertempuran seabad
lamanya. Pertempuran yang tak urung menyisakan cacat fisik menetap pada diri
raja jin biang onar, hilang sudah wajah tampan, tubuh gagah perkasa. Berubah
menjadi wujud Petruk yang sekarang ini. Selanjutnya Petruk diangkat anak oleh
Semar menjadi adik Gareng yang sejatinya juga raja taklukan kiai Semar. Tak ada
setitikpun perasaan dendam di hati Petruk terhadap bapaknya ini. Yang ada
justeru rasa hormat yang teramat dalam. Tapi meskipun sudah berabad-abad dia
mengikuti langkah bapaknya, sungguh tidak mudah untuk memahami semua keputusan
yang diambil oleh Ki Lurah Semar Bodronoyo ini. Bahkan acap kali menyisakan
rasa gemas di hati Petruk. Pengalaman menyaksikan terbunuhnya Ekalaya, adalah
satu dari ribuan kejadian yang mau tidak mau memaksa Petruk berfikir keras
untuk menemukan alasan apa yang mendasari sikap bapaknya.
Sikap Bagong, adiknya, yang
terkesan cuek dan selalu mengabaikan sopan santun. Serta sikap Kang Gareng yang
ekspresif sehingga terkesan mendramatisir masalah. Keduanya merupakan hal yang
juga selalu menimbulkan sedikit kekhawatiaran di hati Petruk. Mudah-mudahan
Kang Gareng belum cukup dianggap sekaliber dengan Ekalaya, sehingga harus dilenyapkan.
Meskipun tindakan melenyapkan Gareng bukan pekerjaan mudah, kesaktian anak
sulung Semar ini tak bisa ditandingi oleh dewa dan ksatria manapun juga. Yang
dikhawatirkan Petruk adalah tipu daya, muslihat, kelicikan atau keculasan yang
sering kali terbukti bisa mengalahkan kesaktian yang mahambara sekalipun. Masih segar di
ingatannya, kejadian terbunuhnya Supala, yang juga menyisakan penasaran dihati
Petruk. Supala adalah Patih Kerajaan Magada, bukan raja, tidak punya pengaruh
apa-apa. Juga tidak sesakti Ekalaya. Toh mati juga digilas oleh Sri Kresna. Apakah perlu
Sri Kresna pamer kesaktian? Apakah perlu memberangus seseorang yang tidak
berpengaruh? Apakah kritikan selalu dianggap sebagai ancaman? Apakah perbedaan
harus ditiadakan?
Dan yang lebih membuat bingung:
mengapa Kiai Semar membiarkan ketidakadilan terjadi? Semar adalah Mbah Biangnya
kesaktian, apa sulitnya menghalangi kesewenang-wenangan? Peristiwa
bermula di negeri Indraprastha yang dirajai oleh Prabu Puntadewa atau
Yudisthira si Darah putih bermaksud mengadakan samrat, semacam perjanjian
persekutuan politik dan ekonomi dengan beberapa negara tetangga. Kerajaan
Hindustan, Pracicu, Mandaraka, Malawa, Sindu dan yang lainnya menerima itikad
baik usul persahabatan itu. Pada saat upacara Rajasuya, yakni penobatan
persekutuan itu, kurang jelas bagaimana proses mekanisme lobinya, Sri Kresna
diangkat sebagai ketua sidang. Apakah semua sepakat demikian? Ternyata tidak, ada
kaum separatis, sempalan. Ada sebuah instrumen musik yang berjalan dan berbunyi tidak sesuai
dengan kerangka aransemen telah dirancang susah payah oleh Kresna. Orang tolol
dari mana yang berani-beraninya menabrak tatanan baku? Siapa yang mengajari dia
bertindak bodoh untuk menjebol aturan, keluar dari pakem? Ya itu tadi.
Supala namanya. Patih Kerajaan Magada. Apakah ia seorang idealis? Seorang
independen? Seorang pemegang teguh ideologi yang bersedia membelah gunung dan
merobek langit untuk memperjuangkannya? Ataukah hanya sekedar satria yang
menghargai kemerdekaan berpendapat lebih mahal dari nyawanya sendiri? Benar bahwa
Prabu Jarasanda Raja Magada junjungannya, baru saja diremukkan kepalanya oleh
Bima, saat berlangsungnya penaklukan Indraprastha atas Magada. Penaklukan.
Perhatikan baik-baik: Penakluklan!
Tentu saja Supala adalah orang
yang paling memiliki hak sejarah untuk bertanya di forum yang mengangkat Prabu
Kresna: “Hai titisan Wisnu yang merasa dirimu paling bijaksana!Ini Samrat atau
kolonialisasi? Persekutuan ataukah penaklukan? Ini kesepakatan atau titah?” Forum menjadi
senyap saat Supala tiba-tiba mengangkat tangan dan mengeluarkan protes keras,
langsung menohok kepada Sri Kresna. ” Semua ini hanyalah sandiwara! Semua ini
hanya bersumber pada muslihat Paduka Yang Mulia Bathara Kresna, saat ini kita
dihimpun untuk melakukan upacara palsu seolah-olah kita sedang merundingkan
persahabatan. Saya akan mencabut kata-kata saya, kalau sidang ini tidak
dipimpin oleh Kresna!” Sidang samrat gempar. Semua raja dan utusan yang hadir tahu persis
apa yang selanjutnya akan terjadi. Sang Kresna mengankat leher dan
mendongkakkan kepala. “Apa maksudmu, Supala?” terdengar suara Kresna datar, mengerikan
semua hadirin. “Saya mengajukan keberatan atas dasar dua hal,” jawab Supala “Kamu merasa
dendam atas kematian rajamu?”
“Itu adalah hal terakhir. Tapi
yang penting adalah, pertama, kita yang ada di sini semua tahu betapa saktu
Paduka Kresna. Tak seorangpun dalam pertemuan ini sanggup mengalahkan Paduka.
Hali ini bisa menjadi sumber bias dalam perundiangan samrat ini. Perundingan
ini seharusnya tak ada hubungannya dengan kesaktian. Kesaktian hanya bertempat
tinggal di peperangan. Perundingan adalah tempat bertemunya semangat kerja sama
dan itikad untuk saling membantu, serta kesediaan untuk saling memelihara
kesejahteraan. Kalau kesaktian dianggap sebagai ukuran, maka perundingan hanya
mungkin dilakukan oleh pihak-pihak yang kesaktiannya berimbang” “Teruskan,”
sahut Kresna. Semua yang hadir merasa aneh Kresna tidak membantah argumentasi
Supala. seharusnya ia bisa mengemukakan bahwa yang memimpin sidang bukan
kesaktian, tapi Sri Kresna. Petruk yang melihat kejadian ini, meskipun dia
tidak berhak mengeluarkan meskipun hanya sekedar satu suku kata dari mulutnya,
langsung merasa gelisah. Dia sangat mengerti, betapa mengerikannya paham
kekuasaan
Bathara Kresna. Saat dia hendak bertanya kepada bapaknya, dia sudah mendapati Kiai
Semar mendengkur di bawah pohon beringin di luar ruang perundingan. Petruk tahu
bapaknya hanya pura-pura tidur. “Aku usul agar sidang ini dipimpin oleh orang yang
paling rendah tingkat kesaktiannya,” lanjut Supala. Forum mendengung. “Aku
yakin tak seorangpun mau maju untuk menjadi pimpinan yang direndahkan,” kata
Kresna. “Paduka jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan sendiri. Ini
pertemuan runding, bukan pertemuan titah!” “Baiklah teruskan,”
nampak sekali Kresna menahan diri.
“Hal yang kedua,” lanjut Supala,
“Nalar perundingan Samrat ini akan absurd jika diketuai oleh seorang yang bisa
seenaknya mengatasnamakan kehendak Dewa-Dewa. Pendapatnya akan dipaksakan atas
nama dewa, atas nama kerja sama, tapi dalam penafsiran sepihak. Saya sama
sekali tidak mengatakan bahwa Paduka tidak memiliki keabsahan mengaku atau
dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu. Tapi konsep semacam itu selalu cenderung
mengurangi daya nalar kita atas persoalan-persoalan serta menurunkan kesehatan
proses perundingan!” Forum Samrat menjadi benar-benar mencekam. Semua yang hadir berdegup
kencang jantungnya dan hampir tak bernafas. “Sudah, Supala?” suara
Kresna bergetar. “Sudah, Paduka!” jawab Supala Petruk yang sudah sangat
hafal pola pikir titisan Wisnu, tahu persis apa yang selanjutnya akan terjadi.
“Aku hargai semua pendapatmu
tanpa harus kusebut bahwa kamu adalah anak kemarin sore yang berakal ngawur dan
berilmu dangkal,” suara Kresna memeacha kesunyian, “Di Mayapada ini setiap
manusia boleh mengemukanan apa saja, tapi harus mengerti dalam situasi apa dan
bagaimana ia kemukakan pendapatnya. Siapa saja boleh mengkritik, tapi harus
dengan garis ketenteraman Mayapada. Semua boleh ngomong apa saja, tapi tidak dengan
melanggar keselarasan, kesatuan dan persatuan. Adapun yang kamu lakukan
Supala.”—Waktu bagaikan berhenti oleh kalimat Kresna— “Adalah penghinaan atasku
didepan umum! Masalahnya sekarang ini bukanlah soal perbedaan pendapat,
melainkan tindakan pidana penghinaan. Bukan sekedar penghinaan Satria kepada
sesepuhnya, tapi juga penghinaan seorang lelaki kepada lelaki yang lain.” Daun-daun
gugur dari tangkainya. Mendung tiba-tiba merapat dan angin menyisih menjauh. Sri Kresna
bermaksud menyelesaikan persoalan itu secara lelaki. Ia meloncat ke pintu
gedung Samrat, keluar ke halaman,
“Keluarlah, Supala! Hadapi aku secara
jantan.” Seluruh hadirin beranjak dan keluar gedung dalam kesenyapan. Suasana
menjadi beku. Tidak akan terjadi duel. Tak kan ada perkelahian. Ini adalah
pembantaian. Supala hanyalah seseorang, sedangkan Kresna adalah segala-galanya.
Petruk bingung, hanya bisa
mengurut dada. Ingin bertanya ke bapaknya, tapi Kiai Semar ngorok semakin
keras. Gareng dan Bagong entah pergi kemana. Petruk hanya mencoba untuk
bersikap rasional dan proporsional, mengesampingkan segala perasaan dan
opininya. Sesungguhnya ini sangat memalukan. Tidak satu sel pun dari tubuh
Kresna yang perlu ber-tiwikrama untuk sanggup menumpas Patih Supala. Bahkan
gerak kegagahan yang ditampilkan oleh Raja Dwarawati pelindung Pandawa itu tak
menghasilkan apapun kecuali mengerdilkan derajad Sri Kresna Sendiri. Ini adalah
opini Petruk. Demikianlah, Kresna hanya perlu menjentikkan jari kelingking,
musnahlah kehidupan Supala! Namun toh Kresna merasa perlu mendemonstrasikan
keperkasaannya di depan Raja-Raja yang hadir. Sesudah ribuan anak panah Supala
hangus menjadi debu sebelum mencapai tubuh Kresna, Titisan Wisnu yang maha
bijaksana itu memuntir kepala Supala! Seluruh hadirin terdiam. Suasana teramat kaku.
tapi itu tak berlangsung lama. Saat terdengar salah seorang bertepuk tangan,
maka semua yang hadir pun riuh bertepuk tangan. Kegembiraan muncul dengan
anehnya. Mereka seolah-olah, tahu bersungguh-sungguh, mensukuri mampusnya
seorang yang mengancam keselarasan. Persoalannya gamblang. Itu semua bukan hanya
sekedar pertunjukan tentang paham kekuasaan. Tapi juga pameran
perikebinatangan. Atau semacam gangguan kejiwaan amat serius yang terjadi pada
manusia yang karib bergaul dengan kekuasaan.
Wajah Petruk pucat pasi, badan
serta kaki dan tangannya menjadi dingin tak ubahnya sebongkah es. Tak ada lagi
keinginan bertanya kepada bapaknya. Hatinya teriris-iris untuk kesekian ribu
kalinya. “… Duh Gusti, apakah Engkau akan mengangkat sebagai utusanMu,
makhluk yang justeru gemar melakukan kerusakan di muka bumi, makhluk yang gemar
menumpahkan darah diantara sesamanya? Padahal..” Petruk melamunkan semua
peristiwa itu sambil menghabiskan rokok siongnya yang tinggal segelintir dan
bersandar pada tumpukan kayu bakar yang baru selesai di belah-belahnya.
Lamunannya buyar karena teriakan Gareng “Truk!!!… Semar hilang! Semar Hilang”
No comments:
Post a Comment