Meskipun selalu berusaha
memahami keadaan sebagaimana apa adanya, Petruk tidak sepenuhnya bisa menerima
jalan fikiran tuan-tuanya yang seringkali melanggar “paugeran” (aturan), bahkan
tak jarang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.Bendoro-bendoronya yang
selalu diasumsikan sebagai pihak yang benar, ternyata pada kenyataannya
seringkali melakukan tindakan yang cenderung keji. Kenyataan yang mau tidak mau
menimbulkan perang di batin Petruk, perang batin yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya.
“… midero sak jagat royo,
kalingono wukir lan samudro, nora ilang memanise, dadi ati selawase…”
Meskipun selalu berusaha
memahami keadaan sebagaimana apa adanya, Petruk tidak sepenuhnya bisa menerima
jalan fikiran tuan-tuanya yang seringkali melanggar “paugeran” (aturan), bahkan
tak jarang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.Bendoro-bendoronya yang
selalu diasumsikan sebagai pihak yang benar, ternyata pada kenyataannya
seringkali melakukan tindakan yang cenderung keji. Kenyataan yang mau tidak mau
menimbulkan perang di batin Petruk, perang batin yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya.
“… midero sak jagat royo, kalingono
wukir lan samudro, nora ilang memanise, dadi ati selawase…”
Sayup-sayup
tendengar tembang mendayu-dayu, membuat Petruk menghentikan ayunan kapaknya.
Dia teringat kejadian yang menyedihkan sekaligus memalukan, kisah tumpasnya
Ekalaya Awal peristiwa terjadi di suatu siang yang gerah di tepi hutan yang
nampak sejuk. Petruk tak mampu menyembunyikan kegelisahan, dia menangkap gejala
alam, sesuatu akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan. Semar
memejamkan pura-pura tidur, Gareng sibuk menulis puisi tentang kegelisahan
hati. sedangkan Bagong mondar mandir dengan wajah seperti arca tanpa ekspresi.
Semua gelisah. Mereka sedang menemani momongan sekaligus tuan mereka, Raden Arjuna
yang juga bernama Janaka, Permadi atau Parto, satria lelananging jagat panengahing
pandawa. Mereka sadar sepenuhnya bahwa masalah yang akan timbul bersumber pada
momongan mereka ini.