Semakin
dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya. Firasatnya mengatakan
inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya teringat kembali akan
keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya, Begawan Bagaspati. Aji
Candabirawa.Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat
dari goa garba ujud mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa!
“Raden Narasoma, hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?!” Tanya Candabirawa.
“Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat didepanku, dialah musuhku, Prabu
Puntadewa. Bunuh dia!” Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu dari
hadapan Prabu Salya. Ia kemudian mengamuk sejadi jadinya kearah para prajurit
pengawal Prabu Puntadewa. Sementara Prabu Puntadewa sendiri telah rapat
dijaga oleh para prajurit dan Arjuna serta Werkudara. Terkena senjata para prajurit
yang terbang bagaikan gerimis yang tercurah dari langit, Candabirawa membelah
diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan tanpa hitungan lagi yang dapat
terlihat. Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang melihat kejadian
disekelilingnya yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak menghentikan
rangsekan musuh dalam ujud mahluk kerdil yang begitu menyeramkan itu. Perintah
Kresna untuk bertindak tanpa melawan amukan Candabirawa disebarkan ke seluruh
prajurit yang segera menyingkir. Ketika serangan berhenti, maka para mahluk
kerdil itupun ikut terhenti, saling berpandang dan termangu mangu sejenak.
Sebagian lagi larut menjadi semakin sedikit. Tetapi tak lama kemudian mereka
bergerak kembali kearah dimana Prabu Puntadewa berada. Ketika sudah dekat jarak
antara para manusia kerdil itu, tiba-tiba gerombolan itu berhenti mendadak.
Mereka kemudian saling berbisik. “Heh teman temanku semua, kita sudah
memperbanyak diri. Tapi begitu aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan
olehku disitu bersemayam sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita
telah lama merasakan lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan
kita, terbawa oleh kesenangan yang ia jalankan sehari hari. Prabu Salya
kebanyakan bersuka ria dari pada melakukan olah penyucian diri. Akan lebih baik
bila kita ikut kepada sesembahan kita yang lama! Mari kawan semua, kita kembali
ke haribaan Begawan Bagaspati”. Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil
berwajah raksasa segera larut dalam raga Prabu Puntadewa. Peristiwa ajaib yang
dilihat Prabu Salya membuatnya jantung Prabu Salya semakin berdebar. Guncang
moral Prabu Salya, hingga terasa menyentuh dasar jantungnya yang terdalam.
Semakin yakin ia bahwa saat yang djanjikannya telah tiba. Prabu Puntadewa telah
bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus Kalimasadda yang disangkutkan pada
bedhor anak panah. Busur telah terpegang pada tangan kirinya dan terutama
ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi dosa bila Batara Wisnu yang
memerintahkan membunuh musuh. Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para
saudaranya berolah warastra, tetapi sejatinya ia adalah salah satu murid
Sokalima yang tidak jauh kemampuan olah senjata panah dibanding dengan Arjuna.
Sebagaimana Arjuna yang mempunyai hati lebih tegar, maka Puntadewa sejatinya
adalah pemanah jitu, baik menuju sasaran diam setipis rambut maupun sasaran
bergerak secepat burung sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung peragu-lah
yang membuat ia tidak seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra.
Maka ketika anak panah meluncur dari busurnya, tidaklah ia melakukannya untuk kedua kali. Sekali ia melepaskan anak panah kearah Prabu Salya, maka menancaplah anak panah itu kedada bidang Prabu Salya. Kulit Salya yang kebal terhadap berbagai macam senjata telah terpecah, rebah Prabu Salya! Sakit di dada Prabu Salya tak terasakan, hanya kepuasan hati yang terasa ketika ia telah menyender di bangkai gajah. Ia telah memenuhi janji terhadap kemenakannya, Nakula dan Sadewa. Janji itu telah terlaksana dengan sempurna. Senyum lemah di bibir Prabu Salya ketika menarik nafas dan menghembuskannya untuk terakhir kalinya. Seketika perang berhenti. Prabu Punta yang tidak lagi ingin melihat tumpahnya darah segera memberi aba aba kembali ke pakuwon, sedangkan prajurit Kurawa dengan sendirinya telah mundur mencari pembesar yang sekiranya masih bisa menaungi. Hanya Patih Sengkuni yang merasa telah putus asa telah berbuat nekad. Kenyataan yang begitu pahit seakan tidak dapat diterimanya dengan akal sehatnya. Kurawa seratus dengan bantuan begitu banyak raja seberang, telah tumpas oleh krida Para Pandawa. Dengan sesumbarnya yang mengesankan sebagai manusia yang telah kehilangan asa, ia gentayangan mengincar kematian Para Pandawa. Patih Sengkuni adalah seseorang yang sejak kelahirannya telah ditakdirkan membawa watak culas. Kelahirannya ditandai dengan terusirnya seorang dewa dari pusat Kahyangan, Paparjawarna. Dewa yang memang memangku sifat culas yaitu Batara Dwapara. Terusirnya Batara Dwapara itu bersamaan dengan lahirnya Harya Suman, nama kecil dari Sengkuni atau Sakuni.
Putra Prabu Gandara itu telah disusupi oleh Batara Dwapara yang diperbolehkan oleh Sang Hyang Wenang untuk menitis kepada seorang anak manusia yang tertakdir sebagai tukang memanasi suasana. Maka sepanjang hidupnya, ia telah berlaku mengipas segala bentuk bara angkara sekecil apapun menjadi berkobar liar menyambar-nyambar. Dengan tidak lebih duapuluh Kurawa yang tersisa, Harya Sengkuni mengamuk menarik perhatian Prabu Kresna dan Werkudara yang masih saja siaga menghadapi suasana yang mungkin saja terjadi. “Werkudara! Lihat Sangkuni mengamuk! Jangan dikira ia yang bertubuh bungkuk dan lemah, dapat kamu kalahkan dengan segenap kekuatan tenagamu. Tetapi sebenarnyalah ia adalah seorang yang kebal senjata. Tetapi otakmu harus kau gunakan juga. Mungkin kamu dulu sudah ketahui, bahwa ia telah berlumurkan minyak Tala ketika cupu berisi minyak Tala peninggalan orang tuamu Prabu Pandu menjadi rebutan dan jatuh ke sumur dalam. Ketika itu Pendita Kumbayana telah berhasil mengangkat cupu itu, tetapi karena masih jadi rebutan dan minyak Tala itupun tumpah. Sangkuni telah melumuri dirinya dengan minyak Tala dengan bergulingan diatas tumpahan minyak. Tetapi ada yang terlewat, yaitu bagian duburnya. Bagian itulah yang kamu dapat jadikan sasaran awal untuk menyobek kulit dagingnya!” Melompat Werkudara tidak sabar untuk menyelesaikan tugas di ujung sore itu. Didekati Sangkuni yang terbungkuk bungkuk sesumbar maciya ciya tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ilmu kebalnya telah membuat ia bagaikan tak ada yang bisa mengalahkannya. Lengah Arya Suman! Dan sejumlah Kurawa yang mencoba menghadang menjadi sasaran amukan Werkudara. Mereka bagaikan laron yang masuk kedalam kobaran api. Tumpas Kurawa yang menghadang.
“Hayoh
keparat Pandawa! Maju kemari bila masih bernyali melawan Harya Suman . . . . !” Belum habis kata kata Sangkuni,
Werkudara telah menyambar tubuh lawannya yang memang tidak lagi gesit
setelah raganya dirusak oleh Patih Gandamana. Patih Astina ketika Prabu Pandu
Dewanata bertahta. Pundak Harya Sangkuni dipegang erat, kemudian diangkat
kakinya sehingga ia terbalik. Sejurus kemudian kuku Pancanaka Werkudara telah
mendarat di sela sela bokong Sengkuni. Sementara kaki Werkudara telah menahan
salah satu kaki Sengkuni yang satu lagi. Belah raga Sengkuni dengan jerit
mengiring kematiannya. “Werkudara, belum cukup kamu menangani raga Sengkuni.
Ingat sumpah ibumu, Kunti, ketika ia telah dilecehkan olehnya, sehingga kemben
ibumu melorot dan menjadi tontonan dan sorakan orang-orang Kurawa. Ketika itu
ibumu bersumpah, tak akan berkemben bila tidak menggunakan kulit dari Patih
Sengkuni yang telah mempermalukannya. Kuliti sekalian dinda!” Senja telah
menjelang usai gugurnya sang senapati utama, Prabu Salya. Layung senja oleh
terbawa awan mendung melayang menyorotkan cahaya jingga, ketika Dewi Setyawati
telah sampai di medan Kurukasetra. Berdua dengan Endang Sugandini, Dewi
Satyawati seakan berenang dalam genangan darah. Sebentar sebentar ia membolak
balik jenazah yang terkapar, mencari cari jangan jangan jenazah itu adalah sang
suami. Sementara mendung makin tebal terkadang seleret petir menyambar
menerangi walau sesaat sosok demi sosok yang ia perkirakan adalah raga
Prabu Salya. Ketika untuk kesekian kali kilat menerangi medan perang itu, Dewi
Setyawati tak lagi ragu terhadap sosok yang ia perkirakan sebagai jenazah
suaminya. Menjerit Dewi Setyawati memanggil nama suaminya. Dipeluk sosok yang
belum lagi kering darah didadanya. “Kanda Prabu, paduka telah meninggalkan
hamba. Paduka gugur sebagai tawur perang ini. Walau paduka telah tidak lagi
bernyawa, namun sikap tubuh dalam gugur paduka, seakan akan melambai mengajak
hamba turut serta”. Sejenak Setyawati menciumi jenazah suaminya yang sudah
semakin dingin. Ditetapkannya hatinya untuk menyusul kematian suami
tercintanya, “ Marilah kanda, ajakan kanda untuk pergi bersama seperti yang
Paduka ucapkan semalam, tak kan kuasa hamba tolak”. Segera diraih cundrik,
sejenis keris kecil yang terselip di pinggang Dewi Setyawati, tewas Sang Dewi
menyusul kekasih hatinya. Sementara Begawan Bagaspati dengan senyum menjemput
dan menggandeng anak dan menantunya menapaki keabadian.
Endang Sugandini yang sama sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh dari Dewi Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara sekaligus temannya karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang keduanya saling berpeluk, terpekik. Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas cundrik yang menancap di dada Dewi Setyawati, kemudian menyusul Salya dan Setyawati. Sepi menguak di Kurukasetra setelah peristiwa itu. Awan mendung yang menggantung telah berubah menjadi hujan yang demikian lebat. Air hujan itu seakan telah mensucikan ketiga raga manusia yang memiliki kesetiaan tanpa cela.
Endang Sugandini yang sama sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh dari Dewi Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara sekaligus temannya karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang keduanya saling berpeluk, terpekik. Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas cundrik yang menancap di dada Dewi Setyawati, kemudian menyusul Salya dan Setyawati. Sepi menguak di Kurukasetra setelah peristiwa itu. Awan mendung yang menggantung telah berubah menjadi hujan yang demikian lebat. Air hujan itu seakan telah mensucikan ketiga raga manusia yang memiliki kesetiaan tanpa cela.
No comments:
Post a Comment