Nakula
dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat apapun yang
tersimpul dari pandangan sinar mata masing masing. Keduanya mengalihkan
pandangannya ketika Prabu Salya kembali memecah kesunyian, dengan pertanyaan
disertai suara yang dalam. “Kamu berdua menginginkan unggul dalam perang
Baratayuda, begitu bukan? Sekarang jawablah!” “Tidak salah apa yang uwa
Prabu tanyakan”. Jawab Sadewa “Sebab itu, tirukan kata kata yang aku
ucapkan tadi”. Kembali Salya memerintahkan kepada kedua kemenakannya dengan
setengah memaksa. Kedua satria kembar itu kembali saling pandang. Kali ini
Nakula bertanya kepada adiknya, Sadewa. “Bagaimana adikku, apa yang harus
aku lakukan?” “Tersesrahlah kanda, saya akan duduk dibelakang kanda
saja.” Jawab Sadewa lesu Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, “Dosa
apakah yang akan menimpa kami . . . .” Baru berapa patah kata Nakula
berkata , namun dengan cepat Prabu Salya memotong ucapan yang keluar dari bibir
Nakula
“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan kalimat yang telah aku ucapkan tadi”. Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.“Uwa Prabu . . ““Uwa Prabu”, tiru Nakula “Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina . . . .,” Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina,” “Kami para Pandawa minta kepada Uwa “Kami para Pandawa minta kepada Uwa “ “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . . .”Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh Prabu Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan bibirnya, “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti”. Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu. Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih.
“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan kalimat yang telah aku ucapkan tadi”. Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.“Uwa Prabu . . ““Uwa Prabu”, tiru Nakula “Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina . . . .,” Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina,” “Kami para Pandawa minta kepada Uwa “Kami para Pandawa minta kepada Uwa “ “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . . .”Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh Prabu Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan bibirnya, “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti”. Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu. Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih.
Setelah beberapa saat berlalu dengan keheningan, Prabu Salya melepas pelukan,
kemudian duduk kembali. Katanya, “Kembar, itulah kalimat yang aku tunggu.
Aku rela mengorbankan jiwa untuk kejayaan Para Pandawa. Dari semula aku tidak
berlaku masa bodoh terhadap peristiwa yang terjadi dalam perang ini. Aku tidak
samar dengan siapa sejatinya yang benar dan siapa yang salah, siapa yang jujur
dan siapa yang curang. Dalam hal ini, Pandawa berhak mengadili siapa yang salah
dalam perang Barata ini”. Keduanya hanya menganggukkan kepala dengan lemah.
“Begini Pinten, Tangsen, mulai saat ini, uwakmu akan turun tahta. Dengarkan
kata kataku, aku akan turun tahta keprabon Mandaraka”. Nakula dan Sadewa
menatap mata uwaknya dengan pandangan tidak mengerti. Sejurus kemudian Prabu
Salya meneruskan, “Setelah aku, uwakmu, turun tahta, seisi Kerajaan
Mandaraka dengan segenap jajahan dan bawahannya, aku akan serahkan kepada kamu
berdua. Mulai saat ini, kamu berdua aku wisuda sebagai Raja-raja baru di
Mandaraka. Kamu berdua akan aku beri nama Prabu Nakula dan Prabu Sadewa”. Sejenak
Nakula dan Sadewa terdiam. Dengan sang uwak mengatakan hal ini, maka jelaslah
bahwa Prabu Salya tidak lagi bermain dalam tata lahir. Dengan menyerahkan
Negara Mandaraka, maka sudah begitu terang benderang, kesanggupannya
menyerahkan nyawa di Medan Kurusetra adalah tumbuh dan terlahir dari dalam hati
yang terdalam. Maka Nakula dan Sadewa yang diberi kepercayaan hanya berkata
menyanggupi “Hamba, uwa Prabu, semua yang uwa Prabu katakan akan
hamba junjung tinggi”. Kemudian Prabu Salya melanjutkan, “Kewajiban kamu
berdua adalah; Nakula, kamu akan aku berikan tugas sebagai raja yang menangani
urusan di dalam negara. Sedangkan Sadewa, kamu kuberikan kewajiban sebagai raja
yang menangani urusan di luar negara. Yang saya maksudkan adalah, Sadewa,
melakukan hubungan ketatanegaraan denga raja raja diluar Mandaraka. Sedangkan
Nakula, lakukan penggalangan dengan raja raja jajahan yang ada dalam lingkup
Negara Mandaraka”. “ Menjadi raja itu sebenarnya tidaklah mudah tetapi
juga tidak sulit. Tetapi ibarat orang yang hendak bepergian, ia haruslah
membawa bekal yang cukup. Bila selayaknya orang yang bepergian dengan arti yang
sebenarnya, cukuplah dengan bekal uang dan barang barang tertentu. Tetapi bila
berbicara mengenai bekal bagi orang yang hendak menjadi pemimpin negara,
haruslah kamu berdua memiliki sedikitnya empat hal yang harus kamu berdua
kuasai”. “Uwa Prabu, kami akan mendengarkan segala petuah yang hendak
paduka berikan kepada kami berdua”, keduanya mengatakan kesanggupannya.
“Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap alam semesta. Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada yang menciptakan. Pencipta itu langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau berganti oleh berlalunya waktu. Ikuti perubahan yang terjadi dan janganlah tetap tinggal dalam sesuatu yang tidak langgeng. Bergeraklah dalam perubahan bila tidak ingin terlindas oleh perubahan itu. Maka benarlah sebagian orang mengatakan perubahan itulah, langgeng yang sebenarnya.”. “Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah digariskan atas kepercayaan masing masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan kepercayaan lain yang sudah mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu tata cara bersembah yang telah menjadi kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu berdua jangan mengatur segala hal mengenai kepercayaan secara resmi dalam negara. Dengan keresmian pembentukan wadah kepercayan kepada yang Maha Tunggal oleh negara, ini akan mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk oleh negara akan menguasai dan bertindak sewenang wenang atas kepercayaan kelompok kepercayaan kecil yang lain. Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh dengan kewajaran dalam jalur yang lurus, tidak saling mengalahkan atas kebenaran menurut kepercayaan masing masing. Ciptakan kebebasan terhadap setiap pribadi dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan kepada setiap pribadi dan golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami secara sempit, hingga mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari ajaran yang dianut”. “Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah menjadi kepercayaanmu sendiri. Bila kamu senang menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain apalagi kelewat mengatakan kepada pihak lain, bahwa kebenaran yang paling benar adalah kebenaran yang kau anut, maka mereka yang kau katai akan kembali menyalahkan kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah tahu apa akibatnya”. “Bila itu yang kau lakukan, maka kamu sudah bersifat Adigang, Adigung dan Adiguna. Sifat yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat atau watak kijang, Adigung, watak seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang yang menyombongkan dirinya dengan mengandalkan kecepatan larinya. Gajah yang mengandalkan dirimya yang paling besar dan kuat sedangkan ular yang sombong mengandalkan bisa atau racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang kamu majukan dalam menata negara, itu seperti halnya kamu tidak akan dapat menata negara dengan berlandaskan rasa keadilan. Kedilan yang sebenar benarnya adil dan dapat dirasakan oleh orang banyak adalah, tetaplah dalam perilaku yang berlapang dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan rasa peri kemanusiaan”.
Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat bagai terpaku pada lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan mengangguk kecil bila sang uwak memandangnya meminta apakan ia memahami apa yang dikatakannya. “Dan keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu baru. Bisalah kamu berdua menyatukan antara ilmu dan pengetahuan. Orang yang menguasai imu itu sebenarnya bagaikan manusia yang berjalan dalam pekat malam namun diterangi dengan sinaran yang cukup terang, atau orang yang berjalan dalam licin namun ia bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa mengurai sesuatu barang atau keadaan yang kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan atas landasan budi pekerti yang luhur. Orang yang berilmu dan berpengetahuan tinggi, akan menghancurkan sesamanya bila tidak berjalan diatas landasan budi pekerti yang luhur. Sebaliknya perilaku luhur budi yang didorong oleh ilmu pengetahuan akan menciptakan tata dunia yang tentram tertib dan adil ”. Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua kemenakannya. Yang dipandang hanya mengangguk tanda mengerti. Lanjutnya“Sedikitnya empat hal inilah yang kamu harus penuhi ketika kamu menjadi raja.“Sekarang kembalilah. Kembalilah ke pesanggrahan Hupalawiya. Terang tanah yang sebentar lagi datang, aku sudah akan datang kembali ke medan Kurukasetra sebagai seorang senapati perang”. “Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di Medan Kuru tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para Saudara kami Pandawa nanti”. Serempak keduanya memohon diri setelah dianggap cukup semua peristiwa yang akan menentukan masa depan keduanya, uwaknya Prabu Salya serta saudaranya Para Pandawa. “Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku panjatkan kepada yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa”. Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk. Kebesaran hati sang uwak telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir bagaimana saudara saudaranya harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua yang sebenarnya tidak condong dalam mengayomi Para Kurawa, walau uwaknya itu telah menyatakan kesanggupannya menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para Pandawa.
Prabu Salya yang ditingalkan oleh kedua kemenakannya segera beranjak dari Sanggar Pemujaan. Ia teringat dengan kewajibannya bahwa hari ini harus segera kembali ke medan Kurukasetra. Ketika ia menengok kedalam tilam sari, dilihatnya istrinya Dewi Setyawati masih tertidur pulas memeluk guling. Termangu Prabu Salya memandang tubuh istrinya yang tergolek bagai boneka kencana. Ragu dalam hati Salya meninggalkan tempat istrinya berbaring diam dengan tarikan nafas yang teratur. Tetapi ia segera menetapkan diri akan kewajiban dan kesanggupannya terhadap menantunya, Prabu Duryudana. Tanpa membuang waktu lagi, bergegas ia berganti busana pamujan ke busana keprajuritan. Diperhatikan pusakanya seksama dengan perasaan yang tidak menentu. Berangkatlah Prabu Salya dengan tanpa pamit dengan istrinya. Namun perasaan bersalah menghentak dalam dadanya. Ia telah meninggalkannya dengan sembunyi-sembunyi. Sepucuk surat telah ia letakkan di sisi pembaringan. Kereta yang ditumpangi Prabu Salya yang melaju pesat di dini hari yang masih berembun. Semilir angin pagi yang menusuk tulang namun memberi kesegaran baru. Segala yang dilalui seakan akan bergerak cepat kearah belakang bagai scene cerita yang berkeradapan bingkai demi bingkai. Gambaran masa lalu, ketika ia pertama kali ketemu dengan istri tercintanya, Setyawati. Tidaklah mengherankan bahwa masa lalu itu terlintas, kegalauan hati masih berkecamuk ketika ia meninggalkan sang istri, telah membawanya mengenang masa lalu ketika dirinya masih muda.
Bingkai gambar itu dimulai saat pertama kali tatapan mata Salya muda itu saling bertumbuk dengan sinar mata Endang Pujawati, nama muda Setyawati. Kejadian di Pertapaan Argabelah ketika dirinya tersuruk suruk meninggalkan kerajaan Mandaraka, setelah diusir oleh ayahndanya, Prabu Mandrakesywara. Ayahnya yang kecewa dengan perintah kepada dirinya agar segera menikah telah ditolaknya dengan halus. Permintaan itu disodorkan oleh ayahnya waktu itu, agar ketika ayahndanya menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putranya, maka dirinya sudah bertaut dengan seorang wanita. Namun dirinya yang waktu itu masih bernama Narasoma, mengajukan syarat, bahwa dirinya harus menikah dengan wanita yang serupa persis dengan ibunya. Ayahnya yang salah memahami permintaan dirinya akhirnya mengusir dirinya hingga terlunta lunta sampai di Pertapaan Argabelah. Tumbukan sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api dan mengobarkan asmara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun terbakar api itu, diseretnya sang ayah, Begawan Bagaspati, untuk menemui dirinya. Terperanjat dirinya waktu itu, ketika melihat ayah Pujawati yang ternyata berujud seorang raksasa. Dalam hati bergolak sebuah pertanyaan, benarkah Pujawati, wanita dengan sejuta pesona, berayah seorang pendeta raksasa? Tetapi pertanyaan ketidak mungkinan itu ditepisnya sendiri. Seketika akalnya berputar, bagaimana caranya memetik “bunga cempaka mulia indah nan mewangi, tetapi ditunggui oleh seekor buaya putih”. Apa kata ayahnya bila ia berbesan dengan seorang raksasa?!
“Pujawati, inikah satria yang kau katakan telah mempesonamu?” Begawan Bagaspati menanyakan kepada anaknya. Namun pertanyaan itu hanya basa basi saja. Dalam kenyataannya Begawan Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang terjadi pada keduanya. Maka tanpa menunggu jawaban ayahnya, Begawan Bagaspati menanyakan kepada Narasoma. “Raden siapakah andika sebenarnya?” Sapa Bagaspati.
“Heh Pendeta Raksasa, siapakah namamu?”, Sifat tinggi hati Salya muda tak mau kalah.“Ooh tidak mau mengalah rupanya satria ini. Baiklah, namaku adalah Begawan Bagaspati. Sedangkan siapakah nama andika, Raden?” Tanya Bagaspati kembali. “Akulah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrakesywara. Namaku Narasoma”. Kata Narasoma waktu itu dengan muka tengadah. Dirinya tak memungkiri bahwa dimasa muda, berwatak degsura. Namun dilain pihak Begawan Bagaspati seakan terhenyak. Mandrakesywara adalah salah seorang saudara seperguruannya, bertiga bersama seorang saudara seperguruan yang lain, yang bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud seorang raksasa. Namun ia tak mengatakana sesuatau apapun. Sifat Narasoma dan alasan yang tidak bisa ia ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai jati dirinya. “Raden, perkenankan andika menyembuhkan sakit yang diderita oleh anakku ini”. Bagaspati menjelaskan. “Lho, kamu itu seorang pendita, yang pasti memiliki segala ilmu agal alus. Tidakkah kamu dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri?” “Tapi penyakitnya adalah penyakit asmara, Raden. Hanya seorang yang dapat menyembuhkan penyakit itu kecuali andika Raden. Bersediakah Raden mengobati anakku?”. Bagaspati berterus terang dengan bahasa halus. Tanyanya mengharap. Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma ketika itu. Terbuka kesempatan bagaimana cara melenyapkan duri yang menghalangi hubunganku dengan wanita yang menjadi pujaan hati. “Baiklah, aku mempunyai syarat agar putrimu dapat sembuh dari sakit itu. Syaratnya kamu harus menjawab teka teki dariku. Sanggupkah?”
“Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap alam semesta. Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada yang menciptakan. Pencipta itu langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau berganti oleh berlalunya waktu. Ikuti perubahan yang terjadi dan janganlah tetap tinggal dalam sesuatu yang tidak langgeng. Bergeraklah dalam perubahan bila tidak ingin terlindas oleh perubahan itu. Maka benarlah sebagian orang mengatakan perubahan itulah, langgeng yang sebenarnya.”. “Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah digariskan atas kepercayaan masing masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan kepercayaan lain yang sudah mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu tata cara bersembah yang telah menjadi kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu berdua jangan mengatur segala hal mengenai kepercayaan secara resmi dalam negara. Dengan keresmian pembentukan wadah kepercayan kepada yang Maha Tunggal oleh negara, ini akan mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk oleh negara akan menguasai dan bertindak sewenang wenang atas kepercayaan kelompok kepercayaan kecil yang lain. Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh dengan kewajaran dalam jalur yang lurus, tidak saling mengalahkan atas kebenaran menurut kepercayaan masing masing. Ciptakan kebebasan terhadap setiap pribadi dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan kepada setiap pribadi dan golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami secara sempit, hingga mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari ajaran yang dianut”. “Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah menjadi kepercayaanmu sendiri. Bila kamu senang menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain apalagi kelewat mengatakan kepada pihak lain, bahwa kebenaran yang paling benar adalah kebenaran yang kau anut, maka mereka yang kau katai akan kembali menyalahkan kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah tahu apa akibatnya”. “Bila itu yang kau lakukan, maka kamu sudah bersifat Adigang, Adigung dan Adiguna. Sifat yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat atau watak kijang, Adigung, watak seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang yang menyombongkan dirinya dengan mengandalkan kecepatan larinya. Gajah yang mengandalkan dirimya yang paling besar dan kuat sedangkan ular yang sombong mengandalkan bisa atau racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang kamu majukan dalam menata negara, itu seperti halnya kamu tidak akan dapat menata negara dengan berlandaskan rasa keadilan. Kedilan yang sebenar benarnya adil dan dapat dirasakan oleh orang banyak adalah, tetaplah dalam perilaku yang berlapang dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan rasa peri kemanusiaan”.
Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat bagai terpaku pada lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan mengangguk kecil bila sang uwak memandangnya meminta apakan ia memahami apa yang dikatakannya. “Dan keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu baru. Bisalah kamu berdua menyatukan antara ilmu dan pengetahuan. Orang yang menguasai imu itu sebenarnya bagaikan manusia yang berjalan dalam pekat malam namun diterangi dengan sinaran yang cukup terang, atau orang yang berjalan dalam licin namun ia bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa mengurai sesuatu barang atau keadaan yang kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan atas landasan budi pekerti yang luhur. Orang yang berilmu dan berpengetahuan tinggi, akan menghancurkan sesamanya bila tidak berjalan diatas landasan budi pekerti yang luhur. Sebaliknya perilaku luhur budi yang didorong oleh ilmu pengetahuan akan menciptakan tata dunia yang tentram tertib dan adil ”. Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua kemenakannya. Yang dipandang hanya mengangguk tanda mengerti. Lanjutnya“Sedikitnya empat hal inilah yang kamu harus penuhi ketika kamu menjadi raja.“Sekarang kembalilah. Kembalilah ke pesanggrahan Hupalawiya. Terang tanah yang sebentar lagi datang, aku sudah akan datang kembali ke medan Kurukasetra sebagai seorang senapati perang”. “Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di Medan Kuru tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para Saudara kami Pandawa nanti”. Serempak keduanya memohon diri setelah dianggap cukup semua peristiwa yang akan menentukan masa depan keduanya, uwaknya Prabu Salya serta saudaranya Para Pandawa. “Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku panjatkan kepada yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa”. Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk. Kebesaran hati sang uwak telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir bagaimana saudara saudaranya harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua yang sebenarnya tidak condong dalam mengayomi Para Kurawa, walau uwaknya itu telah menyatakan kesanggupannya menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para Pandawa.
Prabu Salya yang ditingalkan oleh kedua kemenakannya segera beranjak dari Sanggar Pemujaan. Ia teringat dengan kewajibannya bahwa hari ini harus segera kembali ke medan Kurukasetra. Ketika ia menengok kedalam tilam sari, dilihatnya istrinya Dewi Setyawati masih tertidur pulas memeluk guling. Termangu Prabu Salya memandang tubuh istrinya yang tergolek bagai boneka kencana. Ragu dalam hati Salya meninggalkan tempat istrinya berbaring diam dengan tarikan nafas yang teratur. Tetapi ia segera menetapkan diri akan kewajiban dan kesanggupannya terhadap menantunya, Prabu Duryudana. Tanpa membuang waktu lagi, bergegas ia berganti busana pamujan ke busana keprajuritan. Diperhatikan pusakanya seksama dengan perasaan yang tidak menentu. Berangkatlah Prabu Salya dengan tanpa pamit dengan istrinya. Namun perasaan bersalah menghentak dalam dadanya. Ia telah meninggalkannya dengan sembunyi-sembunyi. Sepucuk surat telah ia letakkan di sisi pembaringan. Kereta yang ditumpangi Prabu Salya yang melaju pesat di dini hari yang masih berembun. Semilir angin pagi yang menusuk tulang namun memberi kesegaran baru. Segala yang dilalui seakan akan bergerak cepat kearah belakang bagai scene cerita yang berkeradapan bingkai demi bingkai. Gambaran masa lalu, ketika ia pertama kali ketemu dengan istri tercintanya, Setyawati. Tidaklah mengherankan bahwa masa lalu itu terlintas, kegalauan hati masih berkecamuk ketika ia meninggalkan sang istri, telah membawanya mengenang masa lalu ketika dirinya masih muda.
Bingkai gambar itu dimulai saat pertama kali tatapan mata Salya muda itu saling bertumbuk dengan sinar mata Endang Pujawati, nama muda Setyawati. Kejadian di Pertapaan Argabelah ketika dirinya tersuruk suruk meninggalkan kerajaan Mandaraka, setelah diusir oleh ayahndanya, Prabu Mandrakesywara. Ayahnya yang kecewa dengan perintah kepada dirinya agar segera menikah telah ditolaknya dengan halus. Permintaan itu disodorkan oleh ayahnya waktu itu, agar ketika ayahndanya menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putranya, maka dirinya sudah bertaut dengan seorang wanita. Namun dirinya yang waktu itu masih bernama Narasoma, mengajukan syarat, bahwa dirinya harus menikah dengan wanita yang serupa persis dengan ibunya. Ayahnya yang salah memahami permintaan dirinya akhirnya mengusir dirinya hingga terlunta lunta sampai di Pertapaan Argabelah. Tumbukan sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api dan mengobarkan asmara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun terbakar api itu, diseretnya sang ayah, Begawan Bagaspati, untuk menemui dirinya. Terperanjat dirinya waktu itu, ketika melihat ayah Pujawati yang ternyata berujud seorang raksasa. Dalam hati bergolak sebuah pertanyaan, benarkah Pujawati, wanita dengan sejuta pesona, berayah seorang pendeta raksasa? Tetapi pertanyaan ketidak mungkinan itu ditepisnya sendiri. Seketika akalnya berputar, bagaimana caranya memetik “bunga cempaka mulia indah nan mewangi, tetapi ditunggui oleh seekor buaya putih”. Apa kata ayahnya bila ia berbesan dengan seorang raksasa?!
“Pujawati, inikah satria yang kau katakan telah mempesonamu?” Begawan Bagaspati menanyakan kepada anaknya. Namun pertanyaan itu hanya basa basi saja. Dalam kenyataannya Begawan Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang terjadi pada keduanya. Maka tanpa menunggu jawaban ayahnya, Begawan Bagaspati menanyakan kepada Narasoma. “Raden siapakah andika sebenarnya?” Sapa Bagaspati.
“Heh Pendeta Raksasa, siapakah namamu?”, Sifat tinggi hati Salya muda tak mau kalah.“Ooh tidak mau mengalah rupanya satria ini. Baiklah, namaku adalah Begawan Bagaspati. Sedangkan siapakah nama andika, Raden?” Tanya Bagaspati kembali. “Akulah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrakesywara. Namaku Narasoma”. Kata Narasoma waktu itu dengan muka tengadah. Dirinya tak memungkiri bahwa dimasa muda, berwatak degsura. Namun dilain pihak Begawan Bagaspati seakan terhenyak. Mandrakesywara adalah salah seorang saudara seperguruannya, bertiga bersama seorang saudara seperguruan yang lain, yang bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud seorang raksasa. Namun ia tak mengatakana sesuatau apapun. Sifat Narasoma dan alasan yang tidak bisa ia ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai jati dirinya. “Raden, perkenankan andika menyembuhkan sakit yang diderita oleh anakku ini”. Bagaspati menjelaskan. “Lho, kamu itu seorang pendita, yang pasti memiliki segala ilmu agal alus. Tidakkah kamu dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri?” “Tapi penyakitnya adalah penyakit asmara, Raden. Hanya seorang yang dapat menyembuhkan penyakit itu kecuali andika Raden. Bersediakah Raden mengobati anakku?”. Bagaspati berterus terang dengan bahasa halus. Tanyanya mengharap. Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma ketika itu. Terbuka kesempatan bagaimana cara melenyapkan duri yang menghalangi hubunganku dengan wanita yang menjadi pujaan hati. “Baiklah, aku mempunyai syarat agar putrimu dapat sembuh dari sakit itu. Syaratnya kamu harus menjawab teka teki dariku. Sanggupkah?”
No comments:
Post a Comment