Perang
Baratayudha, atau lengkapnya Baratayuda Jayabinangun, perang antar darah
Barata, merupakan salah satu dari empat perang besar yang telah digariskan dewa
dalam pewayangan, selain perang Pamuksa ketika Prabu Pandu menumpas
pemberontakan Prabu Trembuku dari Pringgandani dan Perang Gojalisuta,
perang saudara anak bapak, antara Prabu Bomantara alias Prabu Sitija,
dengan Prabu Kresna dalam membela anaknya yang lainnya Samba Wisnubrata,
serta perang Guntarayana ketika Sang Begawan Ciptaning menjadi sraya, atas
serangan Raja Hima Imantaka, Prabu Niwatakawaca, yang hendak mempersunting
primadona kahyangan Jonggring Salaka, Dewi Supraba. Perang Baratayuda, perang
dimana terjadi bagaimana prajurit yang maju menjadi senapati, memetik
hasil dari apa yang telah ditanam dan disisi lain meluwar janji yang pernah
terucap.
- HOME
- Alengka
- Arjunasasrabahu
- Wayang Baratayudha
- Wayang in English
- Wayang Bahasa Jawa
- Keris-Keris Sakti
- Menyatunya Keris Dgn Pemiliknya
- Penghalang Penyatuan Keris Dgn Pemiliknya
- posisi Keris Sbg Pendamping Manusia
- Bentuk Penyatuan Keris Dgn Pemiliknya
- Keris Omyang Jimbe
- Keris Semar Mesem
- Keris Kyai Singo Barong
- Keris Jalak Budha
- Keris Naga Runting
- Keris Kyai Brongot Setan Kober
- Keris Kyai Carubuk
- Keris Kyai Sengkelat
- Keris Kalam Munyeng
- Keris Nagasasra Sabuk Inten
- Keris Kyai Condong Campur
Showing posts with label Wayang Bharatayudha. Show all posts
Showing posts with label Wayang Bharatayudha. Show all posts
Jan 26, 2017
Mar 30, 2016
KISAH LEGENDA GATOT KACA
Gatotkaca (Dewanagari: घटोत्कच; Ghaṭotkacha)
Adalah seorang tokoh
dalam wiracarita Mahabharata, putra Bimasena (Bima)
atau Werkodara dari keluarga Pandawa. Ibunya
bernama Hidimbi (Arimbi),
berasal dari bangsa rakshasa. Gatotkaca dikisahkan memiliki kekuatan luar
biasa.
Dalam perang
besar di Kurukshetra, ia menewaskan banyak sekutu Korawa sebelum akhirnya
gugur di tangan Karna.Dalam bahasa Sansakerta,
nama Ghatotkacha secara harfiah bermakna "memiliki kepala
seperti kendi". Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu ghaṭ(tt)am yang
berarti "buli-buli" atau "kendi",
dan utkacha yang berarti "kepala". Nama ini diberikan
kepadanya karena sewaktu lahir kepalanya mirip dengan buli buli atau kendi.
Jan 6, 2016
Prabu Salya Dan Bunga Cempaka Mulia
Nakula
dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat apapun yang
tersimpul dari pandangan sinar mata masing masing. Keduanya mengalihkan
pandangannya ketika Prabu Salya kembali memecah kesunyian, dengan pertanyaan
disertai suara yang dalam. “Kamu berdua menginginkan unggul dalam perang
Baratayuda, begitu bukan? Sekarang jawablah!” “Tidak salah apa yang uwa
Prabu tanyakan”. Jawab Sadewa “Sebab itu, tirukan kata kata yang aku
ucapkan tadi”. Kembali Salya memerintahkan kepada kedua kemenakannya dengan
setengah memaksa. Kedua satria kembar itu kembali saling pandang. Kali ini
Nakula bertanya kepada adiknya, Sadewa. “Bagaimana adikku, apa yang harus
aku lakukan?” “Tersesrahlah kanda, saya akan duduk dibelakang kanda
saja.” Jawab Sadewa lesu Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, “Dosa
apakah yang akan menimpa kami . . . .” Baru berapa patah kata Nakula
berkata , namun dengan cepat Prabu Salya memotong ucapan yang keluar dari bibir
Nakula
“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan kalimat yang telah aku ucapkan tadi”. Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.“Uwa Prabu . . ““Uwa Prabu”, tiru Nakula “Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina . . . .,” Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina,” “Kami para Pandawa minta kepada Uwa “Kami para Pandawa minta kepada Uwa “ “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . . .”Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh Prabu Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan bibirnya, “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti”. Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu. Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih.
“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan kalimat yang telah aku ucapkan tadi”. Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.“Uwa Prabu . . ““Uwa Prabu”, tiru Nakula “Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina . . . .,” Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina,” “Kami para Pandawa minta kepada Uwa “Kami para Pandawa minta kepada Uwa “ “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . . .”Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh Prabu Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan bibirnya, “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti”. Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu. Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih.
Jan 5, 2016
Narasoma – Bagaspati
“Silakan
Raden memberi teka teki kepadaku. Akan kujawab semampuku, bila aku tahu
jawabannya”. Begawan
Bagaspati adalah seorang Pendeta yang sudah tak lagi samar dengan polah tingkah
manusia. Ia adalah manusia sakti yang mengetahui setiap keadaan didepan dengan
penglihatannya yang tajam berdasarkan getar isyarat dan gelagat yang ia terima.
Meskipun demikian ia masih juga ingin melihat dengan seutuhnya getaran itu
dengan lebih jelas. Maka ia masih tetap ingin mendengarkan langsung kata teka
teki dari mulut Narasoma.
Jan 4, 2016
Prabu Salya Gugur
Semakin
dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya. Firasatnya mengatakan
inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya teringat kembali akan
keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya, Begawan Bagaspati. Aji
Candabirawa.Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat
dari goa garba ujud mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa!
“Raden Narasoma, hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?!” Tanya Candabirawa.
“Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat didepanku, dialah musuhku, Prabu
Puntadewa. Bunuh dia!” Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu dari
hadapan Prabu Salya. Ia kemudian mengamuk sejadi jadinya kearah para prajurit
pengawal Prabu Puntadewa. Sementara Prabu Puntadewa sendiri telah rapat
dijaga oleh para prajurit dan Arjuna serta Werkudara. Terkena senjata para prajurit
yang terbang bagaikan gerimis yang tercurah dari langit, Candabirawa membelah
diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan tanpa hitungan lagi yang dapat
terlihat. Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang melihat kejadian
disekelilingnya yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak menghentikan
rangsekan musuh dalam ujud mahluk kerdil yang begitu menyeramkan itu. Perintah
Kresna untuk bertindak tanpa melawan amukan Candabirawa disebarkan ke seluruh
prajurit yang segera menyingkir. Ketika serangan berhenti, maka para mahluk
kerdil itupun ikut terhenti, saling berpandang dan termangu mangu sejenak.
Sebagian lagi larut menjadi semakin sedikit. Tetapi tak lama kemudian mereka
bergerak kembali kearah dimana Prabu Puntadewa berada. Ketika sudah dekat jarak
antara para manusia kerdil itu, tiba-tiba gerombolan itu berhenti mendadak.
Mereka kemudian saling berbisik. “Heh teman temanku semua, kita sudah
memperbanyak diri. Tapi begitu aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan
olehku disitu bersemayam sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita
telah lama merasakan lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan
kita, terbawa oleh kesenangan yang ia jalankan sehari hari. Prabu Salya
kebanyakan bersuka ria dari pada melakukan olah penyucian diri. Akan lebih baik
bila kita ikut kepada sesembahan kita yang lama! Mari kawan semua, kita kembali
ke haribaan Begawan Bagaspati”. Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil
berwajah raksasa segera larut dalam raga Prabu Puntadewa. Peristiwa ajaib yang
dilihat Prabu Salya membuatnya jantung Prabu Salya semakin berdebar. Guncang
moral Prabu Salya, hingga terasa menyentuh dasar jantungnya yang terdalam.
Semakin yakin ia bahwa saat yang djanjikannya telah tiba. Prabu Puntadewa telah
bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus Kalimasadda yang disangkutkan pada
bedhor anak panah. Busur telah terpegang pada tangan kirinya dan terutama
ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi dosa bila Batara Wisnu yang
memerintahkan membunuh musuh. Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para
saudaranya berolah warastra, tetapi sejatinya ia adalah salah satu murid
Sokalima yang tidak jauh kemampuan olah senjata panah dibanding dengan Arjuna.
Sebagaimana Arjuna yang mempunyai hati lebih tegar, maka Puntadewa sejatinya
adalah pemanah jitu, baik menuju sasaran diam setipis rambut maupun sasaran
bergerak secepat burung sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung peragu-lah
yang membuat ia tidak seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra.
Jan 3, 2016
Duryudana Gugur, Akhir Bharatayuda
Malam itu di Pesanggrahan Pandawa
Mandalayuda, Prabu Puntadewa masih duduk di bangunan yang dirupa sebagai
pendapa. Diantaranya duduk Prabu Matswapati dan Prabu Kresna. “Eyang
Baginda, tak ada rasa sedih seperti yang terjadi pada saat ini. Kemenangan demi
kemenangan telah kami dapatkan hari demi hari disepanjang Perang Baratayuda
Jayabinangun ini. Namun kemenangan demi kemenangan telah dibeli dengan jatuhnya
tawur para saudara, orang tua, guru, dan semua orang yang sepantasnya hamba
beri kemukten. Puncaknya, hari ini, tangan hamba telah mengantarkan Uwa Prabu
Salya ke tepet suci. Sekecil ujud debupun, hamba tidak mengira, bahwa gerak
tangan hamba ini akan menjadi lantaran perginya Uwa Mandaraka”.
Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu Puntadewa adalah hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti membekas di dada Puntadewa yang begitu teguh memegang kesucian diri. Maka sejurus kemudian ia berkata, “Cucu Prabu, sebagaimana telah terjadi pada trah Matsya, tumpasnya anak anak lelaki yang aku punyai Seta, Utara dan Wratsangka pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi semoga cucu Prabu menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian yang telah terjadi hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah jiwa ini keringanan beban, serahkan segalanya kembali kepada-Nya, sehingga kita menjadi ringan dalam melangkahi hari hari didepan.
Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit memberi pencerahan di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya yang masih terpendam “Sabda Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan hamba akan lakukan. Tetapi Eyang, masih ada beberapa saudara kita Kurawa termasuk Kanda Prabu Duryudana masih belum kelihatan dalam perang hari ini. Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda Prabu Kresna, mumpung dalam pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama sama membimbing saudara saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda Prabu Duryudana. Ajaklah kanda Prabu untuk kembali ke Astina”. Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting hendak disampaikan; “Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina untuk membangun kembali diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba bersaudara telah mengambil keputusan untuk hanya menempati Negara yang kami bangun dengan keringat dan darah kami sendiri, Negara Indraparahasta atau Amarta!” Tersenyum Prabu Matwapati, sangat mengerti ia akan keluhuran budi cucu yang satu itu. Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada sebelum korban berjatuhan dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah dikatakan telah ada di tangan, tetapi keputusan semula masih saja ia pegang “Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu kaki Kresna, segera setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu Puntadewa, yang hanya mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan Mertani ketika itu. Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah berada diluar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk peperangan yang telah berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan pemandangan yang begitu mengerikan.Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa yang disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan harus bertapa di Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia berjanji bahwa walaupun hanya sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk menyaksikan perang itu. Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar diberikanlah kerukunan antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika itulah Kresna sudah sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi.
Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu Puntadewa adalah hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti membekas di dada Puntadewa yang begitu teguh memegang kesucian diri. Maka sejurus kemudian ia berkata, “Cucu Prabu, sebagaimana telah terjadi pada trah Matsya, tumpasnya anak anak lelaki yang aku punyai Seta, Utara dan Wratsangka pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi semoga cucu Prabu menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian yang telah terjadi hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah jiwa ini keringanan beban, serahkan segalanya kembali kepada-Nya, sehingga kita menjadi ringan dalam melangkahi hari hari didepan.
Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit memberi pencerahan di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya yang masih terpendam “Sabda Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan hamba akan lakukan. Tetapi Eyang, masih ada beberapa saudara kita Kurawa termasuk Kanda Prabu Duryudana masih belum kelihatan dalam perang hari ini. Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda Prabu Kresna, mumpung dalam pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama sama membimbing saudara saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda Prabu Duryudana. Ajaklah kanda Prabu untuk kembali ke Astina”. Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting hendak disampaikan; “Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina untuk membangun kembali diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba bersaudara telah mengambil keputusan untuk hanya menempati Negara yang kami bangun dengan keringat dan darah kami sendiri, Negara Indraparahasta atau Amarta!” Tersenyum Prabu Matwapati, sangat mengerti ia akan keluhuran budi cucu yang satu itu. Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada sebelum korban berjatuhan dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah dikatakan telah ada di tangan, tetapi keputusan semula masih saja ia pegang “Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu kaki Kresna, segera setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu Puntadewa, yang hanya mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan Mertani ketika itu. Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah berada diluar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk peperangan yang telah berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan pemandangan yang begitu mengerikan.Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa yang disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan harus bertapa di Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia berjanji bahwa walaupun hanya sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk menyaksikan perang itu. Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar diberikanlah kerukunan antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika itulah Kresna sudah sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi.
Jan 2, 2016
Aswatana Ngandak
Perang Baratayudha telah usai,
Resiwara Bisma telah moksha ke alam kadewatan sesuai dengan waktu yang
diinginkannya, setelah kematian Prabu Suyudana sebagai penutup Perang
Baratayudha.Resiwara Bisma dalam perjalanannya menuju surga bertemu
dengan Dewi Amba, kekasih pujaan didunia. Ia kelihatan bahagia. Hal itu
tidak akan terjadi kalau ia masih hidup. Karena didunia ia seorang
Brahmacari.Kurawa pun sudah habis, semua sudah gugur di medan perang Kurusetra.
Demikian pula Pandawa juga telah kehilangan banyak sanak saudaranya.Dewi Drupadi,
juga mengalami hal yang serupa, ia telah kehilangan ayahnya, Prabu Drupada.
Keluarga Wirata, telah kehilangan Prabu Matswapati, Raden Seta, Raden Utara dan
Raden Wratsangka dalam Perang Baratayudha. Terlebih lagi Pandawa
disamping telah kehilangan sanak saudaranya, juga kehilangan saudara saudaranya
Para Kurawa, Eyangya, Gurunya, sahabat serta kerabatnya. Namun yang menjadikan
Keluarga Pandawa mempunyai semangat hidup mereka masih memiliki Ibu
Kunti dan Eyang Abiyasa,Dengan kemenangan Pandawa, maka Pandawa beserta seluruh
keluarga tang tersisa memasuki Istana Astina. Kedatangan Para Pandawa disambut
oleh Dewi Kunti. Dewi Kunti terharu, karena betapa mahalnya untuk
sebuah kemerdekaan Indraprasta, terlalu banyak yang menjadi korbannya. Dewi
Kunti juga mengucapkan terima kasihnya pada Kresna yang telah mendampingi Para
Pandawa selama Perang Baratayudha.Kedatangan Pandawa telah diketahui oleh Uwa
Prabu Drestarastra dan Uwa Dewi Gendari. Para Pandawa dijemput oleh Paman Yama
Widura yang merangkulnya penuh keharuan. Dalam perang Baratayudha, Paman Yama
Widura kehilangan satu orang puteranya, Sang Yuyutsu, yang telah gugur di medan
pertempuran Barata Yudha dipihak Pandawa.
Ketika mereka sedang berbincang bincang, datanglah Sanjaya, anak Paman Yama Widura pertama, yang disuruh Uwa nya Prabu Drestarastra, agar Pandawa keistana Kasepuhan, karena Prabu Drestarastra telah menunggu kedatangan para Pandawa.Sementara itu Prabu Sri Batara Kresna merasakan fiirasat yang buruk.Prabu Kresna membisikkan agar para Pandawa berhati hati dan waspada dalam menghadapi segala kemungkinan yang ada, karena ini mungkin perang belum selesai. Pandawa memakluminya. mereka segera menemui Uwa Prabu Drestarastra.Prabu Drestarastra sedang duduk serimbit dengan Dewi Gendari. Prabu Drestarastra memeluk satu persatu para Pandawa.Walaupun ia memeluk para Pandawa, namun sebenarnyan hatinya merindukan anak anak kandungnya sendiri , yaitu Para Kurawa yang telah tiada. Sekarang giliran Werkudara yang hendak dipeluk Prabu Drestarastra. Werkudara segera mendekati Uwa nya. Namun Prabu Kresna menarik tangan Werkudara, sambil berbisik, tidak perlu mendekati. Biar saja uwa nya yang datang menjemput. Prabu Drestarastra menangisi kematian putera puteranya para Kurawa, karena tidak satupun yang disisakan hidup, oleh Para Pandawa. Sebenarnya Pandawa bisa saja menyisakan Suyudana untuk hidup. Tetapi semuanya sudah terjadi. Prabu Drestarastra akhirnya berdiri mendekati Wekudara. Sementara itu Werkudara berdiri dekat sebuah patung raksasa sebesar Werkudara.Werkudara menghindar ketika uwa nya mengulurkan kedua tangannya untuk memeluknya. Tetapi yang tersentuh adalah Patung raksasa yang menghalangi Werkudara dan patung pun menjadi hancur lebur.dari kedua tangan uwa nya masih mengeluarkan api yang menyala nyala.
Semua terjadi karena uwa nya telah menyalurkan aji Kumbalageni yang sebenarnya ditujukan untuk membunuh Werkudara. Keadaan menjadi hening tidak satupun orang berkata. Prabu Drestarastra menyesal telah membunuh Werkudara. Ia mohon maaf kepada Dewata karena ia tak mampu menahan nafsu balas dendam pada Pandawa khususnya Werkudara yang telah membunuh Suyudana anaknya yang paling dicintainya. Andaikata ia mampu, Werkudara akan dihidupkannya. Ia menyesal tak bisa menjaga amanat Pandu adiknya, untuk menjaga keselamatan Pandawa.Namun Dewi Gendari berkata lain, ia menyesal melihat kegagalan Prabu Drestarastra untuk membunuh Werkudara.
Ketika mereka sedang berbincang bincang, datanglah Sanjaya, anak Paman Yama Widura pertama, yang disuruh Uwa nya Prabu Drestarastra, agar Pandawa keistana Kasepuhan, karena Prabu Drestarastra telah menunggu kedatangan para Pandawa.Sementara itu Prabu Sri Batara Kresna merasakan fiirasat yang buruk.Prabu Kresna membisikkan agar para Pandawa berhati hati dan waspada dalam menghadapi segala kemungkinan yang ada, karena ini mungkin perang belum selesai. Pandawa memakluminya. mereka segera menemui Uwa Prabu Drestarastra.Prabu Drestarastra sedang duduk serimbit dengan Dewi Gendari. Prabu Drestarastra memeluk satu persatu para Pandawa.Walaupun ia memeluk para Pandawa, namun sebenarnyan hatinya merindukan anak anak kandungnya sendiri , yaitu Para Kurawa yang telah tiada. Sekarang giliran Werkudara yang hendak dipeluk Prabu Drestarastra. Werkudara segera mendekati Uwa nya. Namun Prabu Kresna menarik tangan Werkudara, sambil berbisik, tidak perlu mendekati. Biar saja uwa nya yang datang menjemput. Prabu Drestarastra menangisi kematian putera puteranya para Kurawa, karena tidak satupun yang disisakan hidup, oleh Para Pandawa. Sebenarnya Pandawa bisa saja menyisakan Suyudana untuk hidup. Tetapi semuanya sudah terjadi. Prabu Drestarastra akhirnya berdiri mendekati Wekudara. Sementara itu Werkudara berdiri dekat sebuah patung raksasa sebesar Werkudara.Werkudara menghindar ketika uwa nya mengulurkan kedua tangannya untuk memeluknya. Tetapi yang tersentuh adalah Patung raksasa yang menghalangi Werkudara dan patung pun menjadi hancur lebur.dari kedua tangan uwa nya masih mengeluarkan api yang menyala nyala.
Semua terjadi karena uwa nya telah menyalurkan aji Kumbalageni yang sebenarnya ditujukan untuk membunuh Werkudara. Keadaan menjadi hening tidak satupun orang berkata. Prabu Drestarastra menyesal telah membunuh Werkudara. Ia mohon maaf kepada Dewata karena ia tak mampu menahan nafsu balas dendam pada Pandawa khususnya Werkudara yang telah membunuh Suyudana anaknya yang paling dicintainya. Andaikata ia mampu, Werkudara akan dihidupkannya. Ia menyesal tak bisa menjaga amanat Pandu adiknya, untuk menjaga keselamatan Pandawa.Namun Dewi Gendari berkata lain, ia menyesal melihat kegagalan Prabu Drestarastra untuk membunuh Werkudara.
Subscribe to:
Posts (Atom)