Keris Kyai Condong Campur menurut
pakem atau tangguh Jogjakarta, terang Mpu Harumbrodjo,
memiliki Luk berjumlah lima. Terdapat kembang kacang, dua jalu
memet dan dua lambe gajah. Pada wilah atau
bilahnya terdapat blumbangan dan sogokan.
Sedangkan pamornya bisa berupa Tepen Beras Wutah atau lainnya. Dia menandaskan,
pamor terbaik terbuat dari batu meteor yang jatuh dari angkasa. “Dulu, batu
meteor itu diyakini sebagai pemberian para Dewa”, ujarnya.
Selain kualitasnya yang luarbiasa,
lanjutnya, pamor batu meteor ini sungguh melambangkan kesadaran kosmis yang
tinggi. Keris yang dibuat dengan bahan campuran berasal dari benda angkasa dan
bumi, melambangkan bersatunya Bapa Akasa (unsur paternal) dan Ibu Pertiwi
(unsur maternal). Maka, anak atau hasilnya menjadi sangat bertuah ampuh dan
ber-guwaya atau berkharisma sangat kuat.
Seperti telah dipaparkan di atas,
semua bagian keris mengandung makna. Mpu Harumbrodjo menerangkan, dhapur
Condong Campur merupakan lambang persatuan, yang muncul di Majapahit sekitar
abad 14. Disebut lambang persatuan, karena sengaja diciptakan sebagai lambang
keinginan para Mpu untuk bersatu, dalam keberagaman di tengah semakin banyaknya
etnis Tionghoa (pedagang) dan pesatnya perkembangan agama Islam yang ketika itu
masih baru.
Sangat lumrah bila pada awal
keberagaman itu terjadi gejolak. Apalagi, kedatangan Islam yang diawaki oleh
para Sunan, tak kalah pula ampuhnya dalam menciptakan keris pusaka. Keinginan
para Mpu inilah kemudian, yang menurut Mpu Harumbrodjo melahirkan keris
berdhapur Condong Campur. Namun setiap pusaka ampuh buatan para Mpu zaman itu,
selalu diminta oleh Prabu Brawijaya V untuk djadikan piandel kerajaan.
Tidak terkecuali keris Kyai Condong Campur, yang menurut Mpu Harumbrodjo dibuat
oleh Ki Joko Supa (Mpu Supa muda) dari besi pemberian kakak iparnya, Kanjeng
Sunan Kalijaga. Dari sinilah kemudian terbetik kisah pertarungan keris Kyai
Condong Campur melawan Kyai Sengkelat, yang telah banyak dikupas dalam sekian
versi babad, berikut tafsir filosofinya.
Menurut Mbah Joyo Sumarto (80), ahli
tosan aji Museum Rumah Budaya Tembi Jogjakarta, dengan sangat yakin mengatakan,
keris Kyai Condong Campur hanyalah sanggit atau sanepo dari
sebuah keadaan di suatu periode zaman Majapahit.Keadaan itu adalah keinginan
untuk menyatukan kawula di tanah Jawa dalam keragaman budaya dan kepercayaan.
Secara jelas mbah Joyo menerangkan, keris Kyai Condong Campur merupakan
perlambang (sanepo) dari keinginan Sunan Kalijaga untuk menyatukan
perbedaan. “Wujud persatuan itu adalah tata-cara agama Islam yang disesuaikan
dengan tata laku orang Jawa. Jadi, Islam diterapkan bukan sebagai Islam Arab,
tetapi Islam Jawa”, tutur mbah Joyo. Peristiwa dari adanya penyatuan, pembauran
atau perpaduan budaya (akulturasi) yang dituturkan oleh mbah Joyo itulah
sebenarnya maksud dan makna perlambang keris Kyai Condong Campur. Tegasnya,
keris itu hanyalah semacam sanepo halus (eufemisme) atau
perumpamaan, yang dikemas dalam sebuah cerita, dongeng atau babad oleh para Mpu
atau pujangga, guna mencatat kiprah para leluhur di tanah Jawa. “Inilah
kewaskitaan dan keluhuran budi para pujangga zaman dulu, dalam menerangkan
hal-hal yang ketika itu masih sangat peka atau sensitif”, kata mbah Joyo.
Hal yang sama juga berlaku untuk
keris Kyai Kalam Munyeng, yang konon tercipta dari kalam atau pena yang terbuat
dari lidi aren, yang terlempar dari tangan Sunan Giri II karena terkejut oleh
serangan Majapahit. Peristiwa pembongkaran makam Sunan Giri I oleh prajurit
Majapahit yang kemudian memunculkan kisah jutaan lebah menghabisi prajurit
Majapahit, menurut mbah Joyo adalah juga sanepo. Jutaan
lebah itu merupakan perlambang bersatunya kawula atau rakyat Sunan Giri, yang
jumlahnya melebihi jumlah pengikut setia Majapahit. Demikian pula kisah
perjalanan Puntadewa dengan tongkat dan serat Jamus Kalimasada, dikatakan pula
oleh mbah Joyo sebagai sanepo dari sebuah peristiwa. Berbagai
kisah ini dikatakan oleh mbah Joyo sebagai sanepo halus dari
adanya perang roso atau rasa (kepercayaan) pada zaman itu.
No comments:
Post a Comment